DownloadBuku Puisi Sapardi, Hujan Bulan Juni Gratis. October 21, 2013. Sapardi Djoko Damono adalah seorang legenda dalam dunia sastra. Berbagai karyanya -terutama puisi - telah berhasil menjadi penghias sekaligus penggerak masyarakat Indonesia. Kata-katanya indah membangkitkan logika, sambil tetap membuat rasa berdebar.
Biografi Singkat Sapardi Djoko Damono Puisi Sapardi Djoko Damono - Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono adalah seorang pujangga terkemuka asal Indonesia yang lahir di Surakarta pada tahun 20 Maret 1940. Beliau dikenal melalui karya sastra puisinya yang penuh makna kehidupan. Sehingga banyak puisinya terkenal dikalangan sastrawan maupun dikalangan umum. Sumber Google Images Nah, Bagi kalian yang sedang mencari puisi karya beliau. Saya sudah menyiapkan 31 kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono lengkap. Berikut dibawah ini adalah puisi lengkapnya. Baca Juga 150 Kumpulan Puisi Cinta Romantis, Sedih, Rindu, Galau Terbaik 76 Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar 41 Kumpulan Puisi Karya Rendra yang Melegenda 33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Melegenda 43 Kumpulan Puisi Karya Emha Ainun Najib Cak Nun Puisi Ke 1 Kita Saksikan kita saksikan burung-burung lintas di udara kita saksikan awan-awan kecil di langit utara waktu itu cuaca pun senyap seketika sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya di antara hari buruk dan dunia maya kita pun kembali mengenalnya kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia Puisi Ke 2 Sajak Putih beribu saat dalam kenangan kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh kita dengar bumi yang tua dalam setia sewaktu bayang-bayang kita memanjang kita pun bisu tersekat dalam pesona sewaktu ia pun memanggil-manggil sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil Puisi Ke 3 Dua Sajak Dibawah Satu Nama darah tercecer di ladang itu. Siapa pula binatang korban kali ini, saudara? Lalu senyap pula. Berapa jaman telah menderita semenjak Ia pun mengusir kita dari Sana awan-awan kecil mengenalnya kembali, serunya telah terbantai Abel, darahnya merintih kepada Bapa aku pada pihakmu, saudara, pandang ke muka masih tajam bau darah itu. Kita ke dunia kalau Kau pun bernama Kesunyian, baiklah tengah hari kita bertemu kembali sehabis kubunuh anak itu. Di tengah ladang aku tinggal sendiri bertahan menghadapi Matahari dan Kau pun di sini. Pandanglah dua belah tanganku berlumur darah saudaraku sendiri pohon-pohon masih tegak, mereka pasti mengerti dendam manusia yang setia tetapi tersisih ke tepi benar. Telah kubunuh Abel, kepada siapa tertumpu sakit hati alam, dendam pertama kemanusiaan awan-awan di langit kan tetap berarak, angin senantiasa menggugurkan daunan segala atas namamu Kesunyian Puisi Ke 4 Kupandang Kelam yang Merapat ke Sisi Kita kupandang kelam yang merapat ke sisi kita siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba malam berkabut seketika Barangkali menjemputku barangkali berkabar penghujan itu kita terdiam saja di pintu. Menunggu atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu kenalkah ia padamu, desakmu Kemudian sepi terbata-bata menghardik berulang kali bayang-bayang pun hampir sampai di sini. Jangan ucapkan selamat malam undurlah perlahan pastilah sudah gugur hujan di hulu sungai itu itulah Saat itu, bisikku kukecup ujung jarimu kau pun menatapku bunuhlah ia, suamiku Kutatap kelam itu bayang-bayang yang hampir lengkap mencapaiku lalu kukatakan mengapa Kau tegak di situ Puisi Ke 5 Gerimis Jatuh gerimis jatuh kaudengar suara di pintu bayang-bayang angin berdiri di depanmu tak usah kauucapkan apa-apa seribu kata menjelma malam, tak ada yang di sana tak usah kata membeku, detik meruncing di ujung Sepi itu waktu kaututup pintu. Belum teduh dukamu Puisi Ke 6 Lanskap sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua waktu hari hampir lengkap, menunggu senja putih, kita pun putih memandangnya setia Puisi Ke 7 Telor Ada sebutir telor tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih, Kau, tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan melihatnya di situ. Barangkali itulah telor yang kadang hilang kadang nampak di tangan tukang sulap yang kautonton sore tadi. Barangkali telor itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau isterimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya. Puisi Ke 8 Taman Jepang, Honolulu inikah ketentraman? Sebuah hutan kecil jalan setapak yang berbelit, matahari yang berteduh di bawah bunga-bunga, ricik air yang membuat setiap jawaban tertunda Puisi Ke 9 Percakapan Malam Hujan Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, Tutup matamu dan tidurlah. Biar Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah asalmu dari laut, langit, dan bumi kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang Puisi Ke 10 Narsisus seperti juga aku namamu siapa, bukan? pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam tetapi jangan saja kita bercinta jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma atau tunggu sampai angin melepaskan selembar daun dan jatuh di telaga pandangmu berpendar, bukan? cemaskan aku kalau nanti air hening kembali cemaskan aku kalau gugur daun demi daun lagi Puisi Ke 11 Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan Puisi Ke 12 Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago Siapakah namamu? barangkali aku setengah tertidur waktu kautanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga. Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau pak guru yang mengajar anak-anak bernyanyi tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji yang biasa menghitung nafas kita, ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa kau pun sibuk mengulang-ulang per- tanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo ter- jaga. Puisi Ke 13 Mata Pisau mata pisau itu tak berkejap menatapmu kau yang baru saja mengasahnya berfikir ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. Puisi Ke 14 Ketika Berhenti Disini ketika berhenti di sini ia mengerti ada yang telah musnah. Beberapa patah kata yang segera dijemput angin begitu diucapkan, dan tak sampai ke siapa pun Puisi Ke 15 Hujan Dalam Komposisi, 1 Apakah yang kautangkap dari swara hujan, dari daun-daun bugenvil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kautangkap dari bau tanah, dari ricik air Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, membayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. Tidak ada. Kecuali bayang-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya. Puisi Ke 16 Hujan Dalam Komposisi, 2 Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas lalu mengkristal dalam dingin kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan terge- lincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini, bercakap Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di Puisi Ke 17 Hujan Dalam Komposisi, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya Puisi Ke 18 Pohon Belimbing Sore ini kita berpapasan dengan pohon belimbing wuluh yang kita tanam di halaman rumah kita beberapa tahun yang lalu, ia sedang berjalan-jalan sendirian di trotoar. Jangan kausapa, nanti ia bangun dari tidurnya. Kau pernah bilang ia tidak begitu nyaman sebenarnya di pekarangan kita yang tak terurus dengan baik, juga karena konon ia tidak disukai rumput di sekitarnya yang bosan menerima buahnya berjatuhan dan membusuk karena kau jarang memetiknya. Kau, kan, yang tak suka sayur asem? Aku paham, cinta kita telah kausayur selama ini tanpa belimbing wuluh Demi kamu, tau! Yang tak bisa kupahami adalah kenapa kau melarangku menyapa pohon itu ketika ia berpapasan dengan kita di jalan. Yang tak akan mungkin bisa kupahami adalah kenapa kau tega membiarkan pohon belimbing wuluh itu berjalan dalam tidur? Kau, kan, yang pernah bilang bahwa pohon itu akan jadi Puisi Ke 19 Tentang Tuhan Pada pagi hari Tuhan tidak pernah seperti terkejut dan bersabda, Hari baru lagi! Ia senantiasa berkeliling merawat segenap ciptaan-Nya dengan sangat cermat dan hati-hati tanpa Ia, seperti yang pernah kaukatakan, tidak seperti kita Tuhan merawat segala yang kita kenal dan juga yang tidak kita kenal dan juga yang tidak akan pernah bisa kita kenal. Puisi Ke 20 Sonet, Entah Sejak Kapan Entah sejak kapan kita suka gugup Di antara frasa-frasa pongah Di kain rentang yang berlubang-lubang Sepanjang jalan raya itu kita berhimpitan Di antara kata-kata kasar yang desak-mendesak Di kain rentang yang ditiup angin, Yang diikat di antara batang pohon Dan tiang listrik itu kita tergencet di sela-sela Huruf-huruf kaku yang tindih-menindih Di kain rentang yang berjuntai di perempatan jalan Yang tanpa lampu lalu-lintas itu. Telah sejak lama Rupanya kita suka membayangkan diri kita Menjelma kain rentang koyak-moyak itu, sebisanya Bertahan terhadap hujan, angin, panas, dan dingin Puisi Ke 21 Puisi Cat Air Untuk Rizki angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, aku rindu, aku ingin mempermainkanmu! kabel telpon memperingatkan angin yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, jangan berisik, mengganggu . hujan meludah di ujung gang lalu menatap angin dengan tajam, hardiknya, lepaskan daun itu! Puisi Ke 22 Sonet 4 Hidup terasa benar-benar tak mau redup ketika sudah kaudengar pesan suatu hari semua bunyi rapat tertutup. Penyanyi itu tuli. Suaranya terdengar perlahan. Tapi bukankah masih ada langit yang tak pernah tertutup pelupuknya, yang menerima segala yang terbersit bahkan dari mulut si tuli dan si buta? Penyanyi itu buta? Kau tampak gemetar kita pun diam-diam mendengarkannya, Cinta terasa baru benar-benar membakar ketika pesa kaudengar padamkan nyalanya! Kita pun menyanyi selepas-lepasnya, sepasang kekasih yang tuli dan buta. Puisi Ke 23 Sonet 6 Sampai hari tidak berapi? Ya, sampai angin pagi mengkristal lalu berhamburan dari batang pohon ranggas. Sampai suara tak terdengar berdebum lagi? Ya, tak begitu perlu lagi memejamkan mata, bergegas memohon diselamatkan dari haru biru yang meragi dalam sumsumku tak pantas lagi menggeser-geser sedikit demi sedikit bangkai waktu agar tak menjadi bagian dari aroma waktu kini. Sampai yang pernah bergerit di kasur tak lagi menempel di langit-langit kepalaku? Sampai kedua bola matamu kabur, sayapmu lepas, dan kau melesat ke Ruh itu. Ruh? Ya! Sampai kau sepenuhnya telanjang dan tahu api tubuhmu tinggal bayang-bayang. Puisi Ke 24 Sonet 14 Kaudengar gumam jalan ini, benar? Ya, ia ingin kita selamanya melewatinya, seolah ada yang bisa abadi. Kau tertawa, tentu saja. Kusentuh tanganmu yang dingin ketika jalan itu mulai terdengar menggumam lagi. Setiap berhenti sejenak untuk membenarkan letak sepatu kau bertanya, Kau dengar gumam jalan ini? Ia sudah tua, didendangkannya hujan yang suka membuka payung biru, disenandungkannya kemarau yang suka berselimut udara malam-malam, digumamkannya matahari yang melumurkan lumut sekujur tubuh pohon teduh itu. Kau dengar itu? Jalan ini mengalir hanya kita yang tahu sangat pelahan mengelilingi sebuah tanah lapang. Hanya kita yang tahu bahwa ia ingin kita melewatinya, sepanjang waktu? Tetapi, apakah kita pernah yakin ada cinta yang bersikeras abadi? Puisi Ke 25 Sudah Lama Aku Belajar sudah lama aku belajar memahami apa pun yang terdengar di sekitarku, sudah lama belajar menghayati apa pun yang terlihat di sekelilingku, sudah lama belajar menerima tanpa pernah bertanya apa ini apa itu, sudah sangat lama belajar mengagumi matahai ketika tenggelam di tepi danau belakang rumahku, sudah sangat lama belajar bertanya mengapa kau selalu memandangku begitu. masuk, dan menutupnya kembali. Kalau pada suatu hari nanti tak tahu apa aku masih sempat mendengarnya. Puisi Ke 26 Kenangan ia meletakkan kenangannya di laci meja dan menguncinya memasukkan anak kunci ke saku celana sebelum berangkat ke sebuah kota yang sudah sangat lama hapus dari peta yang pernah digambarnya pada suatu musim layang-layang di laci yang rapat terkunci ia telah meletakkan hidupnya Puisi Ke 27 Tukang Kebun Setelah beberapa kali ketukan, pintu kubuka rupanya ada tamu yang, katanya, menjemputku sore hari ini Apakah aku sudah pernah mengenalnya? Waktu kutanyakan pergi ke mana, jawabnya ringkas, Ke sana, ke samudra raya! Ditunjukkannya pula rajah di lengannya gambar jangkar, tengkorak, dan kata tak terbaca. Aku ini tukang kebun tua yang lahir dan dibesarkan di pedalaman, sepanjang hidup hanya belajar menghayati rumput, pohon, dan tanah basah, mengurus pagar dan membersihkan rumah. Aku tak mampu apa dan bagaimana lagi. Pandanganku tinggal sejengkal, dan telingaku? Suaraku sendiri pun tak dikenal. Tamu itu membelalak ketika kupersilahkan duduk. Tuhan, aku takut. Tolong tanyakan padanya siapa gerangan yang telah mengutusnya. Puisi Ke 28 Pada Suatu Magrib Susah benar menyeberang jalan di Jakarta ini hari hampir magrib, hujan membuat segalanya tak tertib. Dan dalam usia yang hampir enam puluh ini, Astagfirullah! Rasanya di mana-mana ajal mengintip Puisi Ke 29 Tentu. Kau Boleh Tentu. Kau boleh saja masuk di sela-sela butir darahku. Tak hanya ketika rumahku sepi, angin hanya menyentuh gorden, laba-laba menganyam jaring, terdengar tetes air keran sama sekali tak ada orang Tapi juga ketika turun hujan, angin tempias lewat lubang angin, selokan ribut dan meluap ke pekarangan, genting bocor dan aku capek menggulung kasur dan mengepel lantai. Tentu. Kau boleh mengalir di sela-sela butir darahku, keluar masuk dinding-dinding jantungku, menyapa setiap sel tubuhku. Tetapi jangan sekali-kali pura-pura bertanya kapan boleh pergi sajak ini, Kau-lah yang harus Puisi Ke 30 Pertanyaan Kerikil Yang Goblok Kenapa aku berada di sini? tanya kerikil yang goblok itu. Ia baru saja dilontarkan dari ketapel seorang anak lelaki, merontokkan beberapa lembar daun mangga, menyerempet ujung ekor balam yang terperanjat, dan sejenak membuat lengkungan yang indah di udara, lalu jatuh di jalan raya tepat ketika ada truk lewat di sana. Kini ia terjepit di sela-sela kembang ban dan malah bertanya kenapa ada saatnya nanti, entah kapan dan di mana, ia dicungkil oleh si kenek sambil berkata, Puisi Ke 31 Ayat-Ayat Tokyo angin memahatkan tiga patah kata ada yang diam-diam membacanya ada kuntum melayang jatuh air tergelincir dari payung itu kita pandang daun bermunculan kita pandang bunga berguguran kemarin tak berpangkal, besok tak berujung angin menyambar bunga gugur itu menghirup langit dalam-dalam Sumber Penyair Terkenal2015Ballada Arakian.pdf. Kumpulan puisi yang terdiri atas tiga buku berbeda ini ini, Ballada Arakian, Kota Perbatasan, dan Sang Pencari Lobster, dibuka dengan sebuah sajak yang berbicara tentang tragedi. Sajak berjudul 'Tak Ada Mimpi di Negeri Ini' adalah sepotong sajak yang sarat makna ketika ditempatkan sebagai pembuka kumpulan karena