Tidak Adil' dan 'Tertindas' adalah Bekal Gerakan Feminisme dan Kesetaraan Gender. Sejarah Jilbab di Indonesia dari Masa ke Masa. Problem Definisi Gender, Pandangan Islam dan Barat pasal 5 ayat 2 (e), menyatakan: "mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual Masalah gender bukan masalah baru. Masalah perdebatan gender dari para ahli dari waktu ke waktu mewarnai kehidupan manusia menentukan mana yang manusia ciptaan Allah dan mana yang tidak, bukan hanya terdapat antara seluruh makhluk ciptaan Allah tetapi terbawa sampai kepada pribadi manusia baik laki-laki maupun perempuan. Namun Alkitablah yang akan menjadi kunci jawaban bagi setiap pendapat manusia. Sehingga tidak lagi seorang pun mencari jalan untuk menentukan kebenarannya sendiri-sendiri. Sebab Alkitab dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru akan menyatakan kebenaran bahwa baik Laki-laki maupun perempuan adalah setara di hadapan Tuhan sebagai pencipta. Pada pembahasan ini penulis akan melakukan kajian mengenal kesetaraan Gender dalam perspektif Alkitab Pada bab terdahulu penulis telah memaparkan mengenai komunitas masyarakat Arfak secara global yang di dalamnya tercakup mengenai wanita. Adapun tujuan pembahasan dalam bab ini ialah untuk menemukan sebuah landasan biblikal yang merupakan kebenaran hakiki mengenai kesetaraan gender. Namun sebelum melakukan pembahasan secara alkitabiah, penulis akan melakukan kajian singkat berkenaan dengan isu gender yang terus berkembang dewasa ini. Di samping memberikan informasi, pemahaman ini juga guna membandingkan kebenaran yang ada dalam Alkitab. Tentu sebagai orang percaya haruslah mengakui legitimasi Alkitab sebagai otoritas kebenaran tertinggi. Apapun kebenaran yang diajarkan oleh Alkitab haruslah dilakukan secara mutlak sekalipun tembok-tembok budaya sangat menghalangi. Namun perlu dilakukan langkah-langkah dan strategi yang bijak agar tidak melahirkan konfrontasi negatif yang berakhir pada penolakan. To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the SetiantoThe issue of Gender does not yet have a common ground. Women are always considered weak and helpless human beings. However, in some ethnic groups in Indonesia, the opposite is true. Men are deemed to have no value to women. This study aims to examine the concept of gender equality from a biblical perspective. As the primary source of teaching authority, the Bible provides a solid picture of gender equality. The research method used is exploratory qualitative. The results of the study state that the Bible consistently discusses the principle of gender equality. Because gender equality is essential, many activists voice this principle in the struggle for human rights. Therefore, viewing humans as the noblest created beings is the basis for this struggle for gender equality. Thus, opportunities and responsibilities in all aspects of life own by all humans and created by Martin SimanjuntakNiken Dewi PMarianus PattoraSetya Hadi NugrohoDalihan Na Tolu is a culture and philosophy of life of the Batak people. It is not only the kinship relationship contained in it but also as a driving force for the life order of the believers. In the Dalihan Na Tolu philosophy there is a relationship that needs to be evaluated in relation to social equality, namely the relationship between Hulahula and Boru. The perspective of Christian faith will complement the philosophy of Dalihan Na Tolu if it is built in the love and sacrifice of Christ, which is ultimately driven by love in the Dalihan Na Tolu philosophy. This study uses a qualitative literature approach, which uses descriptive methods, and analysis-argumentative. descriptive, analysis-interpretative, and argumentation-comparative. With the constructive comparative aid method, this study uses various literature sources, such as books, journal articles, and dissemination on web pages to gain new insights from the text being studied. The conclusion that can be drawn is that the theology of social equality in the perspective of Christian faith should complement the philosophy of Dalihan Na Tolu which centers on the love and sacrifice of Christ. The relationship between hulahula and boru is no longer seen as an order of law which implies a curse but rather as a local wisdom that enriches mission values to introduce the love of Christ through the Dalihan Na Tolu philosophy. Nunuk RinuktiA woman is more often become second-class citizens in terms of leadership. Although age has become the time of emancipation, however, in some sectors of life, a women have not got the right place and in accordance with nature. This also happens in church life. Many of the rules and procedures that the church does not provide flexibility for women to lead. There are many reasons, such as reasons for prohibiting the biblical text, up to a certain cultural reasons, including certain church culture that has not provided the opportunity for women to lead. Therefore, in this Tulsan authors highlight the role of women in the New Testament for the development of women's leadership in the church. Abstrak Perempuan atau wanita lebih sering menjadi warga kelas dua dalam hal kepemimpinan. Walaupun zaman ini telah menjadi zaman emansipasi, namun demikian di beberapa sector kehidupan, perempuan atau wanita belum mendapat tempat yang pas dan sesuai dengan kodratnya. Hal ini juga terjadi di dalam kehidupan bergereja. Banyak peraturan dan tata gereja yang tidak memberikan keleluasan bagi perempuan untuk memimpin. Ada banyak alas an, seperti alas an teks Alkitab yang melarang, sampai alas an budaya tertentu, termasuk budaya gereja tertentu yang belum memberikan kesempatan kepada perempuan untuk memimpin. Oleh karena itu, dalam Tulsan ini penulis menyoroti peranan perempuan dalam Perjanjian Baru demi perkembangan kepemimpinan perempuan di dalam Epistles to the GatiansJames D G DunnDunn, James D. G. The Epistles to the Gatians. London Hendrickson Publishers, IPV New Testament Commentary SeriesG Walter GatianHansenGatian, G. Walter Hansen. The IPV New Testament Commentary Series. Disunting oleh Grant R. Osborne. Downer Grove, IL Intervarsity Press, VIP Application CommentaryM GataiansKnightGataians, M. Knight. The VIP Application Commentary. Grand Rapids Zondervan Publishing House, New Psychology of Women; GenderHilary M LipsLips, Hilary M. A New Psychology of Women; Gender, Culture, and Ethnicity 2003.MckayMcKay, a History of Western Society, Journal Islamia Republika 9 April 2009.
DasarAlkitabiah Mengenai Kesetaraan Gender Bagi orang Kristen yang saleh dan mengamalkan imannya dengan benar, sesungguhnya tidak terlalu menemukan permasalahan yang tradisional sudah begitu terbiasa mengutip sebagian ayat-ayat Alkitab (yang "berbicara negatif" tentang status (perempuan) untuk membuktikan bahwa perempuan itu berasal
This article is an intellectual response to the feminists' contention that gender is a social construct, hence it can be changed and reconstructed accordingly. It argues that gender is God-given, which means that it is the natural dispositions and characters bestowed by God along with the physical appearances, which in Islamic tradition are called fiṭrah and sunnatullāh. By advocating the idea that gender is man-made and not God-given, the feminists have opened the door of confusion, reconstruction and corruption of not only the meaning of gender but also other fundamental concepts in the social system, such as qiwāmah or men leadership. Moreover, the feminists' idea of gender equality musāwāh indirectly dismissed the different natural disposition fiṭrah between men and women for a notion of equality which is assumed to be synonymous with justice. Nevertheless, the Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 33 KONSEP KESETARAAN GENDER MENURUT PERSPEKTIF ISLAM DAN BARATTHE CONCEPT OF GENDER EQUALITY IN ISLAM AND THE WEST Khalif Muammar A. Harris, Adibah Muhtar RZS-CASIS. Faculty of Social Science & Humanities. Universiti Teknologi Malaysia. 54100. Kuala Lumpur. Malaysia. Academy of Islamic Civilization. Faculty of Social Science & Humanities. Universiti Teknologi Malaysia. 54100. Kuala Lumpur. Malaysia. Email khalif DOI Abstract This article is an intellectual response to the feminists’ contention that gender is a social construct, hence it can be changed and reconstructed accordingly. It argues that gender is God-given, which means that it is the natural dispositions and characters bestowed by God along with the physical appearances, which in Islamic tradition are called fiṭrah and sunnatullāh. By advocating the idea that gender is man-made and not God-given, the feminists have opened the door of confusion, reconstruction and corruption of not only the meaning of gender but also other fundamental concepts in the social system, such as qiwāmah or men leadership. Moreover, the feminists’ idea of gender equality musāwāh indirectly dismissed the different natural disposition fiṭrah between men and women for a notion of equality which is assumed to be synonymous with justice. Nevertheless, the Kajian ini merupakan output dari Fundamental Research Grant 2018, KPM-UTM PY/2018/03814, “Pembangunan Model Pemerkasaan Wanita Malaysia Berasaskan Kerangka Konstruksi Gender Gender Construct Menurut Islam”. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 34 occurrence of misinterpretation in the works and practices of the conservative Pseudo-Salafi, which, among other things imposes niqāb and burqa on women makes the advocacy and struggle of the Muslim feminists for equality between men and women seems justified and legitimate. Contrary to Western experience, Muslim societies have already been introduced to gender justice and respect for women in a manner never known before. The dissemination of feminists’ ideas among Muslims is indeed loaded with colonial agenda and causes more confusion in the minds of Muslims. Keywords gender equality; musāwāh; qiwāmah; feminism; fiṭrah; Islamic tradition. Khulasah Artikel ini merupakan sanggahan ilmiah terhadap dakwaan golongan feminis bahawa gender adalah binaan masyarakat social construct yang ditentukan oleh manusia dan boleh berubah-ubah. Sebaliknya, ia menegaskan bahawa gender merupakan suatu ketentuan Tuhan, yakni sifat-sifat pembawaan dan kecenderungan semulajadi yang dikurniakan oleh Tuhan sama seperti sifat-sifat fizikal, yang di dalam agama Islam dikenali dengan fitrah dan sunnatullāh. Dengan meletakkan manusia sebagai penentu kepada gender dan bukannya Tuhan, feminisme bukan sahaja telah mencetuskan kecelaruan dalam faham gender bahkan membuka ruang kepada perombakan dan kerosakan makna terhadap konsep-konsep asasi lain dalam sistem sosial, seperti qiwāmah atau kepimpinan lelaki ke atas wanita. Melalui idea kesetaraan gender musāwāh, feminis menolak perbezaan fiṭrah lelaki dan perempuan demi kesamarataan yang dianggap sama dengan keadilan. Kewujudan salah tafsiran kelompok konservatif Pseudo-Salafi dalam memahami dan melaksanakan ajaran Islam berkaitan wanita menyebabkan kemunculan aktivis feminis Muslim yang memperjuangkan agenda pembebasan wanita dan kesetaraan gender secara mutlak mengikut Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 35 acuan Barat. Hakikatnya, berbanding Barat, masyarakat Islam sejak zaman Rasulullah telah mengenal konsep keadilan gender dan penghormatan terhadap wanita yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Justeru penyebaran idea-idea feminisme di kalangan masyarakat Islam selain membawa agenda kolonialisme juga menimbulkan lebih banyak kecelaruan pemikiran di kalangan orang Islam. Kata kunci kesetaraan gender; musāwāh; qiwāmah; feminisme; fiṭrah; tradisi Islam. Pengenalan Agama Islam dan Kristian bersepakat bahawa Adam adalah manusia pertama yang diciptakan Allah SWT di syurga, sebelum diturunkan ke Bumi. Bahkan kedua sumber suci Islam dan Kristian juga menyebut tentang penciptaan Hawa daripada Adam. Meskipun Bible ada menyebut bahawa Hawa Eve diciptakan daripada tulang rusuk,dan cerita yang sama ada disebutkan dalam sebuah hadith, namun para ulama’ berpendapat bahawa perkataan daripada tulang rusuk min ḍilʻ tidak harus difahami secara harfiah akan tetapi perlu difahami secara kiasan atau majāzī metaphorical, iaitu bahawa wanita diciptakan seperti Sila lihat Bible, Kejadian, 220-25, Hadith Rasulullah yang bermaksud “Nasihatilah para wanita dengan baik, kerana wanita diciptakan daripada tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok daripada tulang rusuk itu adalah pangkalnya, jika kamu cuba untuk meluruskannya maka ia akan patah, namun bilamana kamu biarkan ia maka ia akan tetap bengkok, untuk itu, nasihatilah para wanita dengan baik”, hadith riwayat al-Bukhari, no. 3331, Muslim Hadith no. 3632. Lihat huraian al-Nawawi dan Ibn Hajar tentang hadith ini berbeza dengan tafsiran harfiah yang dikemukakan oleh Ibn Kathir. Al-Nawawi, Sharḥ Ṣaḥīh Muslim Beirut Dar al-Marifah, 1998, 10299; Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Riyadh Dar al-Salam, 6444. Untuk perbahasan lanjut tentang hadith ini sila lihat makalah penulis, “Wacana Kesetaraan Gender Islamis versus Feminis Muslim” dalam Atas Nama Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 36 tulang rusuk yang bengkok sehingga menuntut kebijaksanaan kaum lelaki agar hakikat wanita yang berlainan tabi’inya itu dapat ditangani dengan lemah lembut dan berhemah kerana tindakan yang kasar dan memaksa boleh menyebabkan kaum wanita patah dan tidak dapat diperbetulkan lagi. Lebih dari itu, suatu hal yang tidak diterangkan dalam agama Kristian, al-Qur’an juga menjelaskan bahawa lelaki dan wanita diciptakan daripada satu jiwa min nafsin wāḥidah. Mereka umpama dua sisi dari duit syiling yang sama. Ini memberi isyarat bahawa keduanya memerlukan satu sama lain, diciptakan berpasangan, agar mereka dapat membina rumahtangga dan meninggalkan zuriat. Pemeliharaan nasab keturunan, oleh kerana itu, menjadi objektif Syari’ah maqāṣid al-sharīʻah, sesuatu yang tidak dapat dipelihara jika perkahwinan sesama jenis dibenarkan dan dibiarkan berleluasa. Penciptaan manusia diterangkan dengan terperinci di dalam al-Qur’an. Al-Qur’an menegaskan bahawa manusia diciptakan mengikut fitrah yang ditetapkan oleh Allah. Di antara fitrah manusia adalah kemampuan akliah untuk berfikir tentang Tuhan, kemampuan untuk mengetahui baik, buruk, benar dan salah, kemampuan untuk Kebenaran Tanggapan Kritis Terhadap Wacana Islam Liberal Bangi ATMA, 2009, 183. Dalam surah al-Nisa’ ayat 1 Allah berfirman yang maksudnya “Wahai sekalian manusia! Bertaqwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu bermula dari diri yang satu jiwa, dan yang menjadikan daripada jiwa itu pasangannya isterinya - Hawa, dan juga yang membiakkan dari keduanya - zuriat keturunan - lelaki dan perempuan yang ramai.” Lihat juga surah al-Arāf 189; al-Zumar 6. “Setelah jelas kesesatan syirik itu maka hadapkanlah dirimu engkau dan pengikut-pengikutmu, wahai Muhammad ke arah ugama yang jauh dari kesesatan; turutlah terus fitrah ugama Allah, iaitu fitrah yang Allah menciptakan manusia dengan keadaan bersedia dari semulajadinya untuk menerimanya; tidaklah patut ada sebarang perubahan pada ciptaan Allah itu; itulah ugama yang betul lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” Surah al-Rūm 30. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 37 menghargai dan mencintai kebenaran, keadilan dan keindahan, sehingga tindakan manusia yang memilih tunduk dan patuh kepada perintah Allah, beribadah hanya kepadaNya, merupakan tindakan yang sesuai dengan fitrah dan hakikat dirinya, dan mencapai kebahagiaan dengannya. Dengan fitrah istimewa yang diberikan kepada manusia, fitrah untuk mengenal dan menghambakan diri kepada Tuhan, manusia mempunyai peranan yang telah ditentukan sejak sebelum kewujudannya di muka bumi, iaitu sebagai Khalifah agar manusia tahu siapa dirinya, mengapa dan untuk apa ia diciptakan Allah SWT mengutus para nabi untuk menyampaikan kebenaran daripada Tuhan Pencipta. Bertentangan dengan falsafah eksistentialismeyang menegaskan bahawa existence precedes essence’ kewujudan mendahului esensi, kita dapat memastikan bahawa dalam Islam yang berlaku adalah sebaliknya iaitu essence precedes existence,’ bahawa esensi manusia telah ditentukan terlebih dahulu oleh Tuhan sebelum manusia diciptakan. Ini bermakna bahawa hakikat manusia bukan ditentukan oleh manusia sendiri setelah hidup di bumi, sebagaimana dinyatakan oleh falsafah eksistensialisme, melainkan telah ditentukan oleh Allah sejak azali, sebelum diciptakannya Adam. Penciptaan manusia dan alam ini, mengikut konsep waḥdat al-wujūd, adalah suatu bentuk manifestasi kebesaran Asma dan Sifat Allah SWT. Ini kerana, orang yang mentawhidkan Allah dengan sebenar-benarnya adalah orang yang melihat bahawa yang wujud secara hakiki hanyalah Allah dan PerbuatanNya. Lihat sebagai contoh Jean-Paul Sartre, Existentialism and Humanism, terjemahan dan pengenalan oleh Philip Mairet London Methuen, 1948, 28. Lihat Abu Hamid al-Ghazali, “Iljām al-Awām an Ilm al-Kalām,” dalam Majmūʻat Rasā’il al-Imām al-Ghazālī Kaherah Maktabah al- Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 38 diatur sedemikian rupa, segalanya diciptakan dan diletakkan mengikut qaḍā’ dan qadarNya, mengikut suatu aturan dan susunan yang disebut sebagai sunnatullāh, sehingga membentuk hirarki susunan semua makhluk dan termasuk di dalamnya hirarki dalam susunan manusia hierarchy in the human order, yang dengan susunan ini maka terjelmalah keadilan Tuhan, dan manusia umpama alam kecil mikrokosmos yang mengandungi rahsia alam besar yang memenuhi jagat raya. Dalam pandangan alam Islam, tiada sesuatu yang berlaku di dunia ini melainkan atas kehendak dan perintah Allah SWT, dan mengikut aturan dan sunnah yang telah ditentukan olehNya. Oleh yang demikian, kejadian manusia, lelaki ataupun perempuan, miskin mahupun kaya, pintar mahupun bodoh, demikian juga segala apa yang berlaku di dunia, turunnya hujan, terbit dan tenggelamnya matahari, gempa bumi, banjir dan taufan, perkara yang baik mahupun yang buruk adalah ketentuan, qaḍā’ dan qadar, ataupun taqdir Allah SWT. Meskipun manusia berusaha sedaya upaya untuk mengelakkan perkara buruk daripada berlaku namun jika telah menjadi suratan taqdir maka kehendak Allah akan mengatasi kehendak manusia. Apa yang tercatat di lauḥ maḥfūẓ akan berlaku meskipun manusia tidak menginginkannya dan berusaha untuk menghalangnya. Oleh kerana itu, seseorang itu kekal lelaki meskipun ia ingin menjadi perempuan, dan seseorang itu kekal perempuan meskipun ia ingin menjadi lelaki. Perubahan apapun yang dilakukan terhadap dirinya hanya merupakan perubahan luaran, hakikat diri dan identitinya tetap tidak berubah. Justeru dengan melakukan perubahan pada dirinya yang tidak sesuai dengan identiti dan fitrahnya itu Tawfiqiyyah, 337; al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Lihat al-Attas, Islam and Secularism Kuala Lumpur ISTAC, 1993, 107-8. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 39 maka ia telah menentang kehendak Allah dan melakukan kerosakan pada dirinya sendiri. Kerosakan yang dilakukan oleh manusia terhadap dirinya dan terhadap alam sekitar hanya akan menimbulkan lebih banyak kesengsaraan dalam kehidupan. Fitrah yang ditetapkan oleh Allah SWT kepada manusia memberikan mereka jalan untuk melakukan sesuatu yang baik bagi dirinya dan persekitarannya. Dengan mengikuti fitrahnya manusia dapat berfungsi dengan baik sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan kerananya mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat. Lelaki diberikan fitrah untuk memimpin keluarga dan mencari nafkah, manakala perempuan diberikan fitrah untuk mengandungkan dan membesarkan anak. Apabila kedua pihak, suami dan isteri menuruti fitrah kejadian masing-masing maka berlaku keharmonian dan kebahagiaan. Fitrah lelaki dan perempuan yang digambarkan di atas adalah benar apabila secara jujur diperhatikan sifat dan kecenderungan lelaki dan perempuan yang secara tabi’i memilikinya tanpa mengira bangsa, kaum, latarbelakang, dan bukannya dikondisikan oleh masyarakat seperti mana yang didakwa oleh golongan feminis. Malahan, sifat sedemikian wujud pada bangsa yang tidak bertamadun dan tidak beragama sekalipun. Maka sesuatu yang mustahil dan tidak masuk akal bahawa lelaki di seluruh dunia bersepakat untuk mencipta sifat-sifat di atas dengan tujuan untuk menindas kaum perempuan. Kekeliruan Golongan Feminis Muslim Gerakan feminisme pada umumnya merupakan suatu perjuangan bagi memerdekakan dan membebaskan kaum wanita daripada penindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh kaum lelaki. Gerakan ini memainkan peranan yang penting di Eropah dan di Barat umumnya kerana dengan perjuangan golongan feminis ini, kaum Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 40 wanita di Barat telah dapat mengecapi kemerdekaan dan kesamarataan yang sebelumnya dinafikan. Penulis Inggeris, Mary Astell 1666-1731 mengungkapkan kemarahannya berkenaan ketidakadilan yang berlaku dengan katanya “If men are born free, how is it that all women are born slave?” Terjemahan “Jika lelaki dilahirkan merdeka, mengapa semua perempuan dilahirkan sebagai hamba?” Ia sesuatu yang sebenarnya menggambarkan keadaan ketika itu di Eropah dan bukan di serata dunia, dan pastinya bukan di dunia Islam. Di Eropah, perempuan tidak memiliki hak pemilikan harta sebagaimana lelaki, hak perundangan untuk perempuan yang dizalimi sangat terbatas manakala universiti di Eropah tidak membenarkan perempuan mendapatkan pendidikan. Keadaan bertambah parah apabila kalangan ahli falsafah Barat sehingga zaman pencerahan, seperti Immanuel Kant 1724-1804 dan Jean Jacques Rousseau 1712-1778, mendokong diskriminasi dan merendahkan martabat ketika Maria Theresa di Austria memerintah 1740-1780 dan Catherine the Great di Rusia memerintah 1762-1796 menjadi ratu maka masyarakat Barat baru membuka mata terhadap keupayaan kaum wanita. Walau bagaimanapun kaum wanita di Barat perlu berjuang habis-habisan untuk mendapatkan hak mereka Mary Astell, Political Writings, ed. Patricia Springborg Cambridge Cambridge University Press, 1996, 18. Lihat juga bukunya Some Reflection upon Marriage yang menganggap perkahwinan sebagai satu bentuk perhambaan slavery. Mary Astell, Some Reflection upon Marriage London John Nutt, 1700 . Rousseau sebagai contoh menganggap pendidikan wanita hanya perlu sebagai persiapan bagi berkhidmat kepada lelaki. Lihat Julie; or, The New Heloise 1761 dan Emile; or, Education 1762. Lihat W. M. Spellman, A Short History of Western Political Thought London Palgrave-Macmillan, 2011, 106. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 41 yang dinafikan. Pada tahun 1789 ketika revolusi Perancis, terdapat tuntutan Petition of Women of the Third Estate to the King,’ yang menuntut hak mendapatkan pendidikan dan pekerjaan. Tuntutan mereka malah mendapat tanggapan negatif daripada National Assembly yang menetapkan bahawa wanita perlu menjadi warganegara yang pasif, dan tidak layak untuk mengambil bahagian dalam pilihan raya. Pada tahun 1792, Mary Wollstonecraft 1759-1797 menulis buku A Vindication of the Rights of Woman yang menyatakan bahawa kemampuan intelektual wanita yang dikatakan lemah itu adalah natijah daripada pendidikan yang tidak adil dan nilai-nilai masyarakat yang tidak menuntut agar wanita muncul sebagai manusia yang rasional dan berdikari, yang hanya berlaku dengan memperbaiki pandangan diri sendiri untuk lebih dihormati. Usaha beliau ini diremehkan oleh ramai orang ketika itu. Apa yang berlaku di Eropah pada abad pertengahan sebenarnya berakar pada falsafah Hellenistik yang sememangnya memandang rendah kepada perempuan. Sejak zaman Aristotle telah berlaku diskriminasi terhadap perempuan. Menurut Aristotle 322BC akal wanita lemah, tidak mampu berfikir dengan waras dan rasional oleh kerananya wanita perlu dipimpin oleh lelaki. Hellenisasi Barat, termasuk Hellenisasi Kristian, meneruskan dasar diskriminasi dan penindasan terhadap wanita. Pada hari ini golongan feminis umumnya bersepakat bahawa gender lelaki dan perempuan merupakan binaan masyarakat social construct. Ia terhasil daripada harapan masyarakat social expectation dan cara seseorang itu dibesarkan. Simone de Beauvoir 1908-1986 adalah antara feminis pertama yang menegaskan hal ini apabila berkata Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman Dublin J. Stockdale, 1793, 19. Menurut Aristotle lagi, “women exist as natural deformities or imperfect males”. Aristotle, Politics, terj. Ernest Barker Oxford Clarendon Press, 1948, 1254b, 13-16. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 42 “one is not born, but rather becomes woman”, dan “social discrimination produces in women moral and intellectual effects so profound that they appear to be caused by nature”. Jika perbezaan jantina biological sex dianggap sesuatu yang datang semula jadi oleh kerananya tidak dapat diubah, perbezaan gender pula, bagi mereka, adalah sesuatu yang dibentuk oleh masyarakat dan oleh kerananya tidak mesti diterima. Di dunia Islam, tokoh-tokoh modenis adalah golongan yang memperkenalkan idea kesetaraan gender yang berasal daripada Barat. Muhammad Abduh 1849-1905, ketika mentafsirkan ayat 238 daripada surah al-Baqarah, menegaskan “Ini adalah kaedah umum yang menjelaskan bahawa perempuan adalah sama dengan lelaki dalam semua hak. Kerana itu lelaki dan perempuan serupa pada zat, perasaan, dan akal”. Namun Abduh juga mengakui apabila berlaku perbezaan pendapat maka pandangan lelaki perlu kesetaraan gender ini kemudian dilanjutkan oleh Qasim Amin 1863-1908, seorang modenis dan sahabat Muhammad Abduh. Di dalam Taḥrīr al-Mar’ah 1899, beliau mengatakan bahawa perempuan dan lelaki sebenarnya adalah sama dari segi kekuatan fizikal, yang menjadikan mereka berbeza adalah kerana perempuan tidak menggunakan potensi jasad dan akal mereka secara optimum. Kerana itu menurut Qasim Amin, perempuan perlu membebaskan diri mereka daripada segala kongkongan yang membelenggu dirinya, termasuklah Simone de Beauvoir, The Second Sex New York Vintage Books, 2011 [original 1949], 283, 14; Alison Stone, An Introduction to Feminist Philosophy Cambridge Polity Press, 2007, 2. Lihat Muhammad Imarah, al-Islām wa al-Mar’ah fi Ra’y al-Imām Muḥammad Abduh Kaherah Nahdat Misr, 2007, 23. Lihat juga keterangan Ignaz Goldziher yang mengetengahkan metodologi pentafsiran modenis Muhammad Abduh dalam Madhāhib al-Tafsīr al-Islāmī, terj. Abd al-Halim Najjar Kaherah Maktabah al-Khanji,1955, 350-395. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 43 hijab. Hijab yang dipaksakan ke atas wanita, menurut beliau, hanya menghalang wanita dan masyarakat Islam daripada kemajuan dan pendidikan wanita hanya sempurna apabila mereka membuang sebagai seorang modenis, mempunyai kepercayaan yang mendalam terhadap idea-idea Barat. Beliau tidak sedar bahawa apa yang dilakukannya boleh membawa natijah yang buruk kepada masyarakat Islam. Dengan tujuan islah, beliau tanpa segan silu mencanangkan idea-idea Barat. Qasim melihat masyarakat Barat, khususnya bangsa Anglo-saxon sebagai model mengapa muncul penulis Muslim yang memperbesarkan persoalan hijab? Mengapa tumpuan diberikan kepada kedudukan perempuan dalam masyarakat Islam? Apakah ada agenda di sebalik pembebasan perempuan? Sememangnya wujud agenda kolonialisme di sebalik wacana pembebasan wanita. Ia sebagaimana diterangkan oleh Katherine Bullock, orientalis dan penulis Barat yang melihat bahawa penjajahan terhadap bangsa lain merupakan misi pentamadunan. Menurut Bullock penghapusan hijab dilihat oleh Barat sebagai bahagian penting dalam misi pentamadunan Barat. Qasim Amin, Taḥrīr al-Mar’ah, Kaherah Nawabigh al-Fikr, pada muka surat 62 dan 63 beliau mengatakan     . Katherine Bullock, Rethinking Muslim Women and the Veil Virginia IIIT, 2010, 25. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 44 Evelyn Baring, First Earl of Cromer 1841-1917, yang memerintah Mesir pada abad ke-19, berkata “The position of women in Egypt is a fatal obstacle to the attainment of that elevation of thought and character which should accompany the introduction of European civilisation”. Beliau juga menegaskan bahawa cabaran bagi orang Barat yang sebenarnya adalah untuk mengangkat martabat wanita di dunia Islam “To graft true civilisation on a society which is but just emerging from barbarism...not only to educate but to elevate the women, he will never succeed in affording to the man, in any thorough degree, the only education which is worthy of Europe”. Maka dapat disimpulkan bahawa misi pembebasan wanita sebenarnya bukanlah idea asli daripada penulis-penulis Muslim, tetapi datang daripada penulis Barat yang sekaligus pemerintah kolonial mereka, yang sudah tentunya membawa agenda kolonialisme. Hal ini dapat dilihat daripada kata-kata Cromer sendiri “The new generation of Egyptians has to be persuaded or forced into imbibing the true spirit of Western civilisation”. Pernyataan Cromer ini disahkan juga oleh seorang pegawai tentera Perancis yang menulis pada tahun 1846 “When we have them in our hands, we will then be able to do many things which are quite impossible for us today and which will perhaps Evelyn Baring, First Earl of Cromer, Modern Egypt, 2 vols. London Macmillan, 1908, 2538. Seperti dikutip oleh Mitchell, Colonising Egypt, 95. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 45 allow us to capture their minds after we have captured their bodies”. Selanjutnya wacana kesetaraan gender ini juga mendapat perhatian Fazlur Rahman 1919-1988. Dalam bukunya Major Themes of the Qur’an, beliau mengatakan bahawa lelaki dan wanita adalah setara, iaitu suami tidak lebih berkuasa ke atas feminis pada umumnya tidak menerima ayat al-Qur’an yang menegaskan kepimpinan lelaki dalam rumahtangga. Mereka lebih cenderung untuk menterjemahkan qawwāmūn sebagai pencari nafkah breadwinners.Istilah breadwinner ini bermasalah kerana ia telah menyempitkan peranan suami kepada fungsi ekonomi. Perlu ditegaskan bahawa perkataan qawwām tidak terhad kepada pemberian nafkah, sebagaimana akan dijelaskan di bawah, lelaki menjadi pemimpin bukan hanya kerana lelaki memberi nafkah, tetapi kerana lelaki diberi amanah dan tanggungjawab untuk memastikan rumahtangga termasuk isterinya, dijaga dan dipelihara dengan baik mengikut kehendak Allah. Maka ketika isteri tidak memerlukan nafkah material lelaki, tidak bermakna isteri tidak perlu taat pada suami. Di sini jelas bahawa Fazlur Rahman telah melakukan kesilapan apabila mengatakan bahawa ketika seorang isteri berhasil mandiri dan memberi sumbangan kepada rumahtangga maka kuasa suami keatasnya berkurangan “Wife’s economic self-sufficiency…and contribution to the household reduces the husband’s superiority, since as a human, he has no superiority over his wife.” Tokoh feminis sekular seperti Fatima Mernissi berpandangan bahawa hijab merupakan hasil kesepakatan Fazlur Rahman, Major Themes of the Qur’an Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980, 48. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 46 masyarakat, social construct, dan merupakan cerminan penguasaan golongan lelaki terhadap wanita. Dalam bukunya Beyond the Veil 1975, Fatima Mernissi mengatakan bahawa hijab adalah simbol penindasan ke atas kaum wanita the veil as a tool and symbol of oppression and subservience. Dalam bukunya yang lain, The Veil and the Male Elite, beliau mengatakan bahawa kewajipan hijab bukan daripada Nabi, tetapi merupakan pandangan para sahabat yang memiliki sifat membenci kaum wanita misogynists yang tidak ingin wanita menjadi pemimpin masyarakat. Malah amalan hijab menurutnya adalah tradisi Arab jahiliyyah. Sebagaimana Qasim Amin, beliau membuat kesimpulan bahawa pembebasan wanita Islam tidak akan berlaku tanpa penolakan terhadap hijab. Pandangan sekular terhadap hukum Islam juga terlihat dalam wacana yang diketengahkan oleh Amina Wadud. Di dalam bukunya Qur’an and Woman 1992, Wadud melihat bahawa wanita dalam Islam tertindas, dianggap sebagai manusia yang bertaraf rendah inferior, secara tabi’inya jahat, memiliki tahap intelektual yang rendah dan lemah beragama. Semua pandangan negatif terhadap perempuan ini berpunca daripada tafsiran terhadap al-Qur’an yang dikuasai oleh kaum lelaki. Oleh kerana itu al-Qur’an perlu ditafsirkan semula daripada perspektif wanita, dengan mengikut kaedah hermeneutik. Beliau turut menyanggah adanya hirarki dalam Islam. Fatima Mernissi, Beyond the Veil London Al Saqi Books, 1985, 82. Fatima Mernissi, The Veil and the Male Elite A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam New York Basic Book, 1991, 81. Amina Wadud menjelaskan “we are the makers of textual meaning. The result of our meaning-making is the reality we establish from those meaning to human experience and social justice. We need to make the text mean more for women’s full human dignity than it has been conceived to do or applied toward at any other time in Muslim history”. Amina Wadud, Inside the Gender Jihad Oxford Oneworld Publication, 2006, 204. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 47 Wadud menegaskan bahawa lelaki dan wanita perlu dilihat sama rata equal “Women are equal to men, they have the same rights and obligations on the ethico-religious level and have equally significant responsibilities on the social functional level”. Kerana itu beliau menolak konsep lelaki sebagai ketua rumah tangga qawāmah, perempuan tidak boleh menjadi imam solat berjama’ah dan lain-lain lagi. Baginya para ulama’ yang mentafsirkan al-Qur’an sepanjang sejarah telah bertindak bias, berat sebelah dan mengamalkan budaya patriarki dalam merumuskan hukum pada hakikatnya Islam sebagai agama yang disampaikan dan diajarkan oleh Rasulullah tidak pernah menindas kaum wanita, namun demikian amalan sesetengah masyarakat Islam yang cenderung merendahkan dan mendiskriminasikan kaum wanita telah sedikit sebanyak memburukkan imej Islam. Wujudnya penindasan’ ini telah menyebabkan kemunculan kelompok feminis Muslim seperti Fatima Mernissi yang memperjuangkan agenda pembebasan wanita, dan mereka melihat bahawa hijab, dengan pentafsiran yang melampau itu, adalah simbol penindasan terhadap kaum wanita. Sanggahan Fatima Mernissi terhadap hijab timbul akibat kekeliruan tentang perbezaan hijab sebagai suatu konsep dengan niqāb, purdah, burqa yang merupakan suatu tafsiran kepada hijab. Terdapat ulama’ khususnya dari kalangan Pseudo-Salafi yang menegaskan kewajipan purdah, niqāb atau abaya. Pemaksaan pemakaian purdah Amina Wadud, Qur’an and Woman Kuala Lumpur Fajar Bakti, 1992, 102. Lihat Amina Wadud, Qur’an and Woman, 2; lihat juga Ziba Mir-Hosseini, Islam and Gender The Religious Debate in Contemporary Iran New York Princeton University Press, 1999. Mengenai kewajipan niqāb, pakaian yang menutup muka dan tangan, lihat fatwa Ibn Taymiyyah, Hijāb al-Mar’ah wa Libāsuha fi al-Salāh Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 48 terhadap wanita menjustifikasikan gerakan feminisme untuk membebaskan wanita daripada penindasan kaum lelaki. Sebenarnya tiada dalil yang mewajibkan purdah, niqāb, burqa atau abaya ke atas wanita. Yang ada hanyalah kewajipan menutup aurat yang dengannya seseorang wanita dianggap telah berhijab. Majoriti ulama berpendapat bahawa menutup muka dan tangan bukanlah suatu kewajipan kerana terdapat dalil yang menunjukkan bahawa tangan dan muka bukan aurat wanita. Nabi sendiri tidak pernah mewajibkan wanita untuk menutup muka dan sebahagian orang Islam, termasuk yang digelar sebagai ulama’, telah menyebabkan Islam ikut terpalit dengan penindasan dan diskriminasi. Walaupun sebenarnya majoriti ulama’ tidak mewajibkan purdah, tetapi pandangan minoriti inilah yang diketengahkan untuk memberikan imej yang buruk terhadap Islam. Kelompok Pseudo-Salafi tidak sedar bahawa dengan mewajibkan purdah dan abaya, mereka telah meletakkan tanggungjawab menjaga kehormatan terhadap kaum wanita sahaja, walhal al-Qur’an menyuruh lelaki juga untuk menjaga kehormatan kaum wanita dengan menundukkan pandangan. Seseorang itu tidak perlu menundukkan pandangan jika tiada apa yang ingin dilihat. Justeru oleh kerana adanya keinginan untuk melihat lalu ia berupaya menahannya demi Riyadh Maktabah al-Maarif, Ibn Baz, Risālah Tabhath fi Masā’il al-Hijāb wa al-Sufur Madinah al-Jamiah a-Islamiyyah, Salih bin Uthaymin, Risālat al-Hijāb Madinah al-Jamiah a-Islamiyyah, 12-13. Pandangan yang berbeza dikemukakan oleh Nasir al-Din al-Albani sendiri, lihat Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah Beirut Dar al-Salam, 2002. Perbahasan tentang kewajipan niqāb boleh dirujuk di pautan berikut Nuruddeen Lemu, Is the Niqab Wajib for All Muslim Women? Lihat al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuh Beirut Dar al-Fikr,1994, 42651-2. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 49 menjaga kehormatan orang yang dilihat dan memelihara diri sendiri. Maka, di sinilah letaknya tujuan dan hikmah disebalik suruhan menundukkan pandangan. Tanpanya tiada kewajaran pada suruhan tersebut. Tugas menjaga kehormatan perlu diletakkan kepada kedua belah pihak dan bukan hanya kepada satu pihak sahaja. Inilah keadilan Islam yang perlu diserlahkan dan tidak boleh dicemarkan dengan pandangan-pandangan yang tidak mencerminkan keadilan dan keindahan Islam. Apabila terbukti bahawa amalan penindasan yang dilakukan terhadap wanita oleh golongan konservatif Pseudo-Salafi hanyalah pentafsiran keliru mereka sendiri terhadap Islam dan ia sebenarnya bukanlah tafsiran yang sah terhadap Islam, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi golongan feminis untuk merombak dan mentafsirkan semula Islam untuk disesuaikan dengan idealisme feminisme. Kedua-dua pendekatan konservatif dan feminis liberal adalah ekstrim, sedangkan kefahaman Islam yang dikemukakan oleh para ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah adalah kefahaman yang adil, pertengahan serta jauh daripada ekstrimisme. Pendekatan Sunni ini bercirikan pertengahanwasatiyyah, di mana terdapat perkara-perkara yang thawābit kekal tidak berubah dan perkara-perkara yang mutaghayyirāt dinamik dan sentiasa berubah. Dengan wujudnya pergerakan teguh dynamic-stabilismini maka masyarakat Islam yang berpegang kepada pendekatan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah ini tidak hanyut sebagaimana kaum liberal dan tidak jumud sebagaimana kaum konservatif dan radikal. Lihat penerangan tentang istilah dynamic-stabilism ini oleh Wan Mohd Nor Wan Daud, Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization Johor Bahru Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2013, 20. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 50 Apabila tiada penindasan terhadap wanita di dalam Islam maka tiada kewajaran bagi kewujudan feminisme dalam Islam. Adapun wujudnya penindasan, ketidakadilan dan diskriminasi terhadap wanita dalam masyarakat Islam, ia bukanlah sesuatu yang unik dalam masyarakat Islam. Setiap masyarakat yang mundur menghadapi masalah ketidakadilan. Ketidakadilan yang berlaku dalam masyarakat Islam tidak bersangkut paut dengan agama Islam, kerana apabila ditelusuri secara mendalam ia adalah masalah kondisi manusia yang tidak beretika. Masyarakat Islam mengalami kemunduran dari pelbagai segi sama ada moral, rohani, aqli, pendidikan, ekonomi dan politik. Oleh kerana itu ketidakadilan berlaku dalam masyarakat. Ia bukan hanya berlaku terhadap wanita malah terhadap kanak-kanak, orang tua, orang miskin, bahkan semua kelompok yang lemah. Dengan memahami konteks masalah ini maka kita dapat melihat feminisme bukanlah jawapan kepada masalah ketidakadilan yang berlaku ke atas kaum wanita. Justeru kewujudan mereka dalam masyarakat Islam hanya menimbulkan lebih banyak masalah dari segi akidah dan pemikiran di kalangan orang Islam. Jika perempuan mengalami penindasan di Barat, apa yang berlaku di dunia Islam adalah sebaliknya. Diskriminasi dan ketidakadilan tidak pernah menjadi masalah besar dalam masyarakat Islam. Justeru, Islam telah menjamin kebebasan individu, dan kemuliaan setiap insan, termasuk wanita dan hamba sahaya. Islam mewajibkan lelaki dan perempuan untuk menuntut ilmu. Bahkan sejak zaman Rasulullah telah muncul cendekiawan wanita, seperti A’ishah 613-678, Umm Salamah 596-683 dan Hafsah 605-665, yang mengajarkan agama kepada kaum wanita khususnya. Hadith Rasulullah “Menuntut ilmu adalah kewajipan ke atas setiap Muslim lelaki dan perempuan” Hadith riwayat Ibn Majah no 224. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 51 Bahkan terdapat masjid yang ditubuhkan oleh seorang wanita, iaitu Fatimah al-Fihriyyah 800-880. Masjid dan universiti ini kini dikenali sebagai universiti tertua di dunia yang masih wujud sehingga ke hari ini, iaitu Universiti Qarawiyyin di Fez, Maghribi. Di zaman Sayyidina Umar pula wanita telah memainkan peranan yang besar dalam aspek sosial dan ekonomi apabila al-Shifa’ binti Abd Allah, sahabat Nabi di kalangan wanita, telah dilantik oleh Khalifah Umar sebagai pegawai Hisbah di pasar, setaraf menteri perdagangan pada masa abad ke-17 di alam Melayu terdapat ratu yang memerintah kerajaan Aceh Islam meletakkan peranan lelaki dan perempuan berbeza. Rasulullah melarang wanita daripada berperang tetapi hanya dibenarkan untuk membantu dan merawat di belakang medan perang. Ketika baginda ditanya mengenai perbezaan ini maka turun ayat yang menjelaskan agar kaum perempuan tidak mempersoalkan perbezaan peranan ini, kerana masing-masing memiliki tanggungjawab yang dan Gender Sebagaimana hakikat dan fitrah manusia telah ditentukan oleh Allah SWT sebelum manusia diciptakan, demikian pula sifat gender lelaki dan perempuan. Sifat gender dan peranan keduanya telah ditentukan sejak sebelum mereka lahir di dunia. Manusia diciptakan berbeza bukan sahaja dari segi biologi, memiliki jantina dan fisiologi yang berbeza, tetapi mereka diciptakan dengan fungsi sosial Beliau adalah al-Shifa’ binti Abd Allah bin Shams al-Adawiyyah, seorang yang pintar membaca dan menulis, dan guru kaligrafi di zaman Rasulullah. Lihat Ahmad bin Ali al-Maqrizi, Imtāʻ al-Asmāʻ Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999, 9395. Untuk biografi beliau, lihat juga Ibn Hajar al-Asqalani, al-Iṣābah fi Tamyīz al-Ṣaḥābah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995,7728. Lihat Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jakarta KPG, Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2008, 254. Lihat surah al-Nisa’, 32. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 52 yang berbeza kerana memiliki sifat, kecenderungan, keinginan, dan peranan yang berbeza. Oleh kerana lelaki dan perempuan memiliki fitrah yang berbeza, maka Islam menetapkan bahawa lelaki dan perempuan memiliki peranan yang berbeza, dan peranan ini telah ditetapkan oleh Allah dan menjadi sebahagian daripada Syari’ah yang tidak berubah mengikut peredaran zaman. Perkataan fitrah dalam bahasa Arab berasal dari akar kata faṭara yang bermaksud mencipta ibtadaʻa daripada sesuatu yang tidak ada. Kerana itu di dalam al-Qur’an, Allah SWT disebut sebagai Fāṭir yakni Pencipta yang para ulama’ ahli Bahasa, fiṭrah bermaksud asal kejadian khilqah manusia, yang selalu disebut sebagai sifat-sifat semula jadi natural disposition. Merujuk kepada ayat al-Qur’an, “fiṭratallāh allati faṭara al-nāsa alayhā,” dan hadith “Kullu mawlūdin yūladu ala al-fiṭrah,” al-Zamakhshari dalam Asās al-Balāghah menambahkan bahawa fitrah di sini merujuk kepada perwatakan yang cenderung kepada agama yang benar al-jibillah al-qābilah li dīn al-ḥaq.Demikian juga al-Raghib al-Asfahani dan al-Zabidi berkata bahawa fiṭrah adalah penciptaan Allah SWT dalam diri manusia yang menjadikannya bersedia untuk melakukan sesuatu. Beliau juga menguatkan pendapatnya ini dengan ayat 25 surah Luqman yang menjelaskan bahawa pada dasarnya kaum musyrikin pun tahu bahawa Pencipta alam semesta adalah Allah surah Fāṭir, 1 “Segala puji tertentu bagi Allah yang menciptakan langit dan bumi, yang menjadikan malaikat utusan-utusan yang bersayap dua, tiga dan empat; Ia menambah pada bentuk kejadian makhluk yang diciptakanNya apa jua yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu”. Muhammad bin Umar al-Zamakhshari, Asās al-Balāghah Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998, 228. Al-Raghib al-Asfahani, Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān Damshiq Dar al-Qalam, 2011, 640; Muhammad Murtada al-Zabidi, Tāj al-ʻArūs Beirut Dar Sadir, 2011 8178. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 53 Bagi seorang mu’min, sifat Qudrah dan Iradah Allah SWT adalah mutlak sedangkan kuasa dan keinginan manusia hanyalah berlaku dengan izinNya. Disebut sebagai fiṭrah kerana sesuatu yang diciptakan itu mengikut acuan yang diinginkan oleh penciptaNya. Maka apabila sesuatu ciptaan tidak mengikuti sifat kejadiannya yang diingini oleh Penciptanya ia boleh dianggap suatu keingkaran. Sesuatu yang mengikut fitrahnya pula disebut sebagai tabi'i, natural. Tabi’i daripada perkataan Arab, ṭabaʻa bermaksud mencetak, menjadikan sesuatu dengan rupa tertentu yang kekal. Al-Jurjani ketika merujuk kepada manusia dan perkataan al-ṭabʻ, menurutnya bermaksud apa yang terbit daripada manusia tanpa al-Asfahani menyebut bahawa al-ṭabʻ adalah kecenderungan yang diciptakan oleh Allah dalam diri manusia. Alam tabi’i ʻālam al-ṭabīʻah merujuk kepada alam yang mengikut acuan dan kehendak Allah SWT. Kerana itu alam ini merupakan cetakan ṣibgah Allah, di mana jelas terdapat kesan atau bekas impression, yang menunjukkan keagungan dan kebijaksanaan Penciptanya. Maka dapat disimpulkan bahawa mengikut pandangan alam Islam, segala ciptaan Tuhan secara tabi’inya mengikut kehendak, keinginan dan acuan Tuhan sunnatullāh. Rekaan ini adalah yang terbaik dan sempurna kerana dibuat dengan ilmu dan kebijaksanaan yang tiada tara, kerana itu ia tidak akan pernah rekaanNya adalah bahawa kaum lelaki mempunyai sifat, perwatakan dan keupayaan yang berbeza daripada kaum perempuan. Kedua-dua gender dan jantina adalah ciptaan dan ketentuan Allah. Al-Jurjani, Kitāb al-Taʻrīfāt, ed. Muhammad Siddiq al-Minshawi Kaherah Dar al-Fadilah, 119. Adapun tabiah menurut beliau adalah kekuatan yang berada dalam jisim dengannya sesuatu itu dapat mencapai kesempurnaannya yang tabi’i. Al-Qur’an surah al-Aḥzāb 38. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 54 Gender adalah sifat pembawaan dan kecenderungan semulajadi kurniaan Tuhan yang berbeza mengikut jantina. Seorang lelaki, sebagai contoh, sukakan perempuan. Perasaan suka ini berlaku secara tabi'i atau natural. Sebaliknya apabila seorang lelaki sukakan lelaki maka ia adalah sesuatu yang dianggap luar tabi'i. Kita dapat melihat bahawa perwatakan yang berbeza antara lelaki dan perempuan berlaku ketika kecil, seumur 2-3 tahun lagi, di mana anak lelaki pada umumnya akan menyukai harimau atau singa sebagai binatang kesukaan, sedangkan anak perempuan akan menyukai kucing, rusa, kanggaru dan seumpamanya. Ini menunjukkan kecenderungan mereka yang berbeza sejak lahir, dan bukan pengaruh persekitaran. Kita juga dapat melihat bahawa apabila tumbuh dewasa, kaum perempuan umumnya suka mengemas, bersolek, sukakan kecantikan dan sebagainya. Sifat dan kecenderungan ini timbul dalam diri seseorang perempuan secara tabi’i. Seseorang wanita yang tidak memiliki perwatakan wanita bukanlah wanita yang normal, tidak terjadi secara tabi’i, tetapi muncul akibat faktor luaran. Demikian juga sebaliknya. Kerana itu Tuhan tidak menciptakan seorang lelaki yang gay dan perempuan yang lesbian, tetapi manusia itu sendiri yang memilih untuk menjadi gay dan lesbian. Lelaki dan wanita, menurut perspektif Islam khususnya dan masyarakat beragama umumnya, bukan sahaja berbeza kerana mereka memiliki alat kelamin yang berbeza tetapi juga berbeza dari segi esensinya, kerana masing-masing memiliki sifat, kecenderungan dan kemampuan yang berbeza. Perbezaan pada aspek-aspek inilah yang disebut sebagai fiṭrah. Konsep kesetaraan gender oleh kerana itu secara tidak langsung mengetepikan dan menolak wujudnya fiṭrah yang berbeza antara lelaki dengan perempuan. Perbezaan sifat, perwatakan, kecenderungan dan kemampuan ini wujud secara tabi’i innate dalam diri manusia. Ia adalah sunnatullāh dan Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 55 fiṭrah yang Allah tetapkan kepada makhlukNya. Perbezaan fiṭrah antara lelaki dan perempuan ini berlaku secara tabi'i, bukan dibentuk oleh masyarakat dan persekitaran dan ini bermakna konsep gender yang diterima pakai oleh masyarakat Barat serta golongan feminis khususnya, adalah salah, keliru dan berbahaya. Seorang manusia yang sedar bahawa gender adalah ketentuan Tuhan, tidak akan berani untuk merubah gendernya. Ia sedar bahawa ketentuan dan ketetapan Tuhan tidak akan berubah. Seorang lelaki akan tetap menjadi seorang lelaki meskipun ia dapat menukarkan alat kelaminnya kepada alat kelamin perempuan. Begitu juga sebaliknya. Yang membezakan lelaki dengan perempuan adalah esensi dan bukan sifat luaran. Seorang perempuan itu dikenali sebagai perempuan kerana keperempuanannya. Dan seorang lelaki dianggap lelaki kerana kelelakiannya. Kelelakian dan keperempuanan inilah yang menjadi esensi lelaki dan perempuan dan bukan alat kelaminnya jantina. Oleh itu apabila seseorang lelaki mendapatkan khidmat pembedahan untuk menukar alat kelaminnya ia pada hakikatnya tetap seorang lelaki. Seorang suami akan merasa tertipu apabila mengetahui bahawa ternyata perempuan yang dikahwininya sebenarnya adalah seorang lelaki, kerana secara tabi’inya seorang lelaki hanya tertarik kepada lawan jenis bukan sama jenis. Dari segi kemanusiaan, setiap manusia adalah mulia dan terhormat, sama ada lelaki mahupun dan tingkah laku manusia itu sendiri yang akan menyebabkannya dipandang hina oleh orang lain. Dalam pandangan Allah, hanya orang yang bertaqwa yang mendapat tempat yang tinggi di itu tidak menjadi mulia atau hina kerana dia seorang lelaki Dalam al-Qur’an, surah al-Isra’ 70, disebutkan bahawa anak-anak Adam telah dimuliakan oleh Allah SWT, dengan diberikan kelebihan-kelebihan yang tidak diberikan kepada makhluk yang lain. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 56 ataupun perempuan, atau kerana dia berkulit hitam ataupun putih, atau menjadi pemimpin, kaya ataupun berkuasa. Ini kerana Islam meletakkan kemuliaan pada nilai yang bersifat spiritual, iaitu ketakwaan, keimanan dan juga ilmu yang dengannya ia dapat memberi manfaat kepada umat mengatur kehidupan suami isteri dan institusi keluarga, Syari’ah Islam mengambil kira perbezaan fiṭrah lelaki dan perempuan. Oleh kerana itu Islam meletakkan keduanya di tempat yang berbeza dengan peranan yang berbeza. Hanya apabila setiap satunya diberikan peranan yang berbeza maka akan berlaku keadilan, sebaliknya apabila keduanya disama-ratakan maka yang akan berlaku adalah ketidakadilan. Kepimpinan Lelaki ke atas Wanita al-Qiwāmah Berbeza dengan dakwaan golongan feminis, sebenarnya persoalan kepimpinan kaum lelaki ke atas kaum wanita adalah sesuatu yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an. Ia bukan lahir dari amalan masyarakat tertentu, dan bukan juga hasil budaya. Kerana itu dalam tradisi Islam perkara ini merupakan sesuatu yang mapan thābit dalam agama dan bukan sesuatu yang berubah mengikut peredaran zaman. Namun begitu hakikat ini tidak dapat diterima oleh kaum feminis Muslim, kerana kepimpinan lelaki dilihat bertentangan dengan konsep kesetaraan gender yang mereka perjuangkan. Beberapa ayat al-Qur’an menegaskan kepimpinan lelaki dalam rumahtangga,, antara lain dalam surah al-Nisā’ 34 Allah berfirman yang maksudnya “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal qawwāmūn yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan faḍḍalallāh orang-orang lelaki dengan beberapa keistimewaan atas Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 57 orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan memberi nafkah sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat kepada Allah dan suaminya, dan yang memelihara kehormatan dirinya dan apa jua yang wajib dipelihara ketika suami tidak hadir bersama, dengan pemuliharaan Allah dan pertolonganNya. Dan perempuan-perempuan yang kamu bimbang melakukan perbuatan derhaka nusyuz hendaklah kamu menasihati mereka, dan jika mereka berdegil pulaukanlah mereka di tempat tidur, dan kalau juga mereka masih degil pukullah mereka dengan pukulan ringan yang bertujuan mengajarnya. Kemudian jika mereka taat kepada kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Besar.” Sebagaimana dijelaskan di atas, perkataan qawwāmūn di dalam ayat ini menjadi bahan perdebatan. Terdapat usaha untuk mentafsirkan semula maknanya, dengan menolak tafsiran para ulama’ terdahulu, agar selari dengan konsep kesetaraan gender. Perkataan qawwām berasal dari perkataan qā’im yang bermaksud penanggungjawab, orang yang memelihara dan bertanggungjawab. Maka qawwām menurut al-Zabidi adalah penjaga dan pemelihara. Menurut beliau lagi, qā’im juga bermaksud orang yang berdiri tegak di dalam kebenaran. Maka qawwām juga membawa makna, orang yang bertanggungjawab memastikan sesuatu itu berdiri di atas jalan kebenaran. Fakhr al-Din al-Razi dalam tafsirnya menjelaskan bahawa al-qawwām, berasal daripada ungkapan al-qā’im bi al-amr, iaitu nama atau gelaran yang merujuk kepada Al-Zabidi, Tāj al-ʻArūs, 8775. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 58 seseorang yang dipertanggungjawabkan dengan sesuatu tugas,kerana itu ia adalah pengurus, penanggungjawab dan faḍḍala sering diertikan dalam bahasa Inggeris dengan perkataan preferred. Ia memberi isyarat bahawa kaum lelaki lebih disenangi berbanding kaum perempuan, walhal hakikatnya tidak bermaksud demikian. Ia hanya menegaskan bahawa Allah SWT memberikan kaum lelaki sesuatu yang lebih berbanding perempuan. Seseorang yang diberi nikmat yang lebih tidak semestinya adalah orang yang lebih dikasihi, demikian juga seseorang yang diberikan musibah dan cubaan tidak bermakna ia dibenci oleh Allah. Ini kerana kedua-dua kelebihan dan kekurangan adalah ujian daripada Allah. Al-Qur’an juga menegaskan bahawa Allah SWT menciptakan manusia bertingkat-tingkat, sebahagian memiliki kelebihan ke atas sebahagian yang lain. Kita perhatikan juga di sini bahawa antara sebab mengapa Allah menggunakan perkataan qawwāmūn dan bukan ru’asā’ atau umarā’ yang bermaksud pemimpin, adalah kerana yang ingin ditekankan bukanlah kepimpinan itu sendiri sebagai suatu jawatan, tetapi pemimpin dalam erti orang yang bertanggungjawab menjaga keluarga. Justeru, ia harus dilihat sebagai suatu beban serta tanggungjawab yang akan dipersoalkan, dan bukan satu kedudukan semata. Fakhr al-Din al-Razi, Mafātīḥ al-Ghayb Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009, tafsir surah al-Nisa’, 34. Terjemahan yang diberikan oleh Sahih International adalah “Men are in charge of women”. Ia terjemahan yang lebih tepat berbanding Yusuf Ali “protectors and maintainers”, Muhammad Asad “take full care”, Riffat Hasan “managers”. Wadud, Azizah “breadwinners”, “those who provide a means of support or livelihood”. Lihat Asma Barlas, Believing Women in Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an Austin University of Texas Press, 2002, 186-7. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 59 Fakhr al-Din al-Razi dalam mentafsirkan ayat 34 surah al-Nisa’ menerangkan bahawa kelebihan lelaki berbanding perempuan yang dimaksudkan terbahagi kepada dua jenis pertama, adalah sifat-sifat hakiki seperti ilmu akaldan kekuatan jasmani; kedua, pada hukum-hakam Syari’ah, seperti kepimpinan tertinggi, kepimpinan dalam solat, jihad, azan, khutbah, kesaksian dalam perkara hudud dan qisas, kelebihan dalam harta waris, pembayaran diyat, wali nikah, talak, rujuk, dan hak ayat di atas juga menegaskan tuntutan agar isteri mentaati suami, dan apabila perkara ini gagal dipatuhi maka suami berhak mengambil tindakan yang sewajarnya kepada isteri. Perkara ini kemudian dijelaskan dalam banyak hadith yang menyatakan kewajipan isteri untuk taat kepada suami. Tuntutan untuk mentaati suami dalam ayat dan hadith jelas menunjukkan bahawa suami adalah ketua rumahtangga yang bertanggungjawab untuk menjaga dan memberi nafkah ahli keluarganya. Apabila ditegaskan di dalam al-Qur’an bahawa lelaki, sebagai kelompok manusia dan bukan orang perorangan, Yang dimaksudkan di sini bukan lelaki lebih cerdas daripada perempuan, tetapi kemampuan mereka secara umum berbeza, di mana lelaki lebih’ mampu menggunakan akalnya melebihi perasaannya, dan lebih’ mampu untuk berfikir hal-hal yang umum kullī berbanding hal-hal yang khusus juz’ī. Lihat Fakhr al-Din al-Razi. Mafātīḥ al-Ghayb, tafsir surah al-Nisa’, 34. Antara lain hadith nabi yang bermaksud “Apabila seorang wanita itu menunaikan solat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadan, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, dikatakan padanya masuklah ke Syurga melalui pintu mana yang ia suka’”. Hadith riwayat Ahmad dan Ibn Hibban, no. 4163. Begitu juga hadith “Jika ada aku menyuruh seseorang untuk sujud kepada orang lain nescaya aku akan menyuruh seorang wanita untuk sujud kepada suaminya”. Hadith riwayat al-Tirmidhi, no. 1159; Ibn Majah no. 1853. Dalam riwayat Ibn Majah terdapat tambahan “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tanganNya tidaklah seorang wanita itu menunaikan hak Tuhannya sehingga ia menunaikan hak suaminya..” Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 60 adalah pemimpin qawwāmūn bagi kaum wanita, dan diberikan kelebihan satu darjat berbanding perempuan, ini bermakna bukan semua lelaki dapat menjadi pemimpin kepada kaum wanita dalam semua bidang. Boleh jadi dalam bidang-bidang tertentu terdapat individu wanita yang mempunyai kemampuan melebihi ramai lelaki, namun dengan kelebihan yang Allah berikan kepada umumnya kaum lelaki, mereka sewajarnya mampu dan mesti mampu menjadi pemimpin kepada kaum wanita. Maka kepimpinan lelaki ke atas wanita al-qiwāmah bukan suatu bentuk superiority keunggulan, memiliki martabat yang lebih tinggi, yang memberi isyarat bahawa wanita adalah inferior iaitu memiliki martabat yang lebih rendah. Justeru, kepimpinan yang dimaksudkan bukanlah suatu kemuliaan, bahkan kepimpinan dalam Islam pada umumnya bukanlah suatu kemuliaan dan kebanggaan. Ia adalah suatu beban yang berat kerana pemimpin perlu berkhidmat untuk yang dipimpin. Dengan kata lain, penegasan bahawa kaum lelaki adalah pemimpin kepada kaum wanita tidak bermakna bahawa kaum lelaki mendapat kedudukan yang mulia dan istimewa manakala kaum wanita mendapat kedudukan yang hina. Ia juga tidak bermakna bahawa kaum lelaki adalah tuan dan kaum wanita adalah hamba, kerana perkahwinan bukan perhambaan. Meskipun kepimpinan yang dimaksudkan di atas menuntut ketaatan pihak isteri, namun ia bukan ketaatan yang mutlak. Ia adalah ketaatan yang bersyarat, iaitu selama mana perintahnya itu tidak melanggar perintah Allah dan RasulNya. Jika dilihat dari perspektif sekular dan liberal, apapun bentuk perbezaan dalam peranan dan pembahagian tugas yang berbeza adalah suatu bentuk diskriminasi dan mencerminkan budaya patriarki. Oleh kerana Islam menekankan kepentingan institusi keluarga agar harmoni Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 61 dan sejahtera maka perbezaan peranan ini amat perlu untuk memastikan kelestarian hubungan keluarga. Ketika seorang lelaki masuk ke alam rumahtangga maka ia dihadapkan dengan suatu ʻaqad, yakni kontrak, dan melalui kontrak ini seorang lelaki bersetuju menerima seorang wanita untuk menjadi isterinya serta bertanggungjawab untuk memberi nafkah kepadanya. Ia secara tidak langsung bersetuju untuk memegang amanah sebagai kepala rumahtangga. Kegagalannya untuk memperlakukan isterinya dengan baik boleh membatalkan kontrak ini, dan oleh kerananya seorang hakim boleh menjatuhkan hukum juga wanita yang secara suka rela melakukan ʻaqad nikah, secara tidak langsung sebenarnya telah bersetuju untuk menerima kepimpinan lelaki yang menjadi suaminya, bersetuju untuk mentaatinya selama mana ia adalah perkara yang baik dan tidak bercanggah dengan kehendak Allah dan Rasul. Apabila peranan masing-masing dilihat sebagai suatu amanah maka seorang lelaki-pemimpin akan berusaha untuk memberi yang terbaik kepada ahli keluarganya. Telah menjadi aturan hidup di dunia ini bahawa semakin banyak kita memberi, semakin banyak kita dapat. Manusia yang bersyukur setelah menerima sesuatu kebaikan sewajarnya ia akan membalas budi baik itu dengan memberi lebih. Apabila seorang suami itu adalah orang yang bertanggungjawab, ia akan berusaha untuk kebahagiaan dan kesejahteraan isteri dan keluarganya. Sebagai timbal balik maka sewajarnya isteri akan membalas budi dengan melakukan yang terbaik untuk kebahagiaan suami. Seorang isteri yang berterima kasih kepada suaminya akan memastikan suami diberikan layanan yang istimewa, memasak makanan yang digemari Kerana itu seorang isteri berhak untuk menuntut cerai di mahkamah apabila lelaki gagal melaksanakan tugasnya dengan baik atau mencederakannya. Fasakh bermaksud melepaskan ikatan perkahwinan. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 62 suami, mengurus rumahtangga dengan baik, semua dilakukan dengan rela hati, bukan terpaksa. Adanya kerelaan dalam diri seorang wanita dan ketulusan hati dalam melaksanakan tanggungjawabnya ini menunjukkan bahawa ia bukanlah patriarki jauh sekali penghambaan terhadap kaum wanita. Ia hanya menjadi suatu bentuk penindasan apabila isteri dipaksa berbuat demikian walhal suami tidak melaksanakan tanggungjawabnya. Maka di sini apa yang penting ditekankan adalah agar setiap pihak melaksanakan tanggungjawab dan kewajipan masing-masing sebagaimana dituntut oleh agama, agar kepentingan dan hak kedua belah pihak, suami dan isteri, terpelihara. Untuk memastikan hal ini maka perlu ada langkah penjagaan, iaitu pendidikan. Melalui pendidikan akan muncul kesedaran dalam diri setiap orang untuk menjadi seorang Muslim, suami dan isteri yang baik, sentiasa menjaga dan menunaikan tanggungjawabnya kepada Allah, agama, keluarga dan masyarakat. Kurangnya pendidikan menyebabkan kerosakan dan kezaliman rumahtangga. Konsep Keadilan dan Kesamarataan Equality Allah SWT menciptakan setiap sesuatu berbeza dari yang lain, dan ini merupakan suatu tanda kebesaranNya. Umum mengetahui bahawa manusia diberikan kelebihan berbanding makhluk yang lain. Ibn Khaldun menegaskan bahawa meskipun dari segi kekuatan fizikal, binatang memiliki kelebihan berbanding manusia, namun dengan kurniaan akal iaitu kelebihan yang paling tinggi diberikan kepada makhluk, maka manusia boleh menguasai makhluk yang lain dan mengatur kehidupan di muka bumi sehingga mampu membangun Iblis yang menafikan kelebihan yang diberikan kepada Adam oleh Allah SWT. Ia tetap dengan Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun BeirutDar al-Fikr, 2004, 53. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 63 pendiriannya bahawa dirinya lebih baik daripada Adam kerana diciptakan daripada api. Penafian ini diiringi dengan keengganan mengikut perintah Allah, ketika Iblis diperintahkan untuk sujud kepada Adam ia enggan kerana tidak melihat adanya kelebihan yang diberikan kepada Adam. Hakikat bahawa Adam memiliki kelebihan berbanding Iblis, dan semua makhluk ciptaan Allah, sehingga melayakkan dirinya diberi penghormatan sujud oleh Malaikat dan Iblis diterangkan di dalam al-Qur’ sini tidak timbul persoalan bahawa Iblis telah diperlakukan tidak adil oleh Allah, kerana tiada sesiapa yang dapat mempersoalkan mengapa Allah memberi kelebihan kepada sesetengah makhlukNya berbanding yang lain. Ia sama sahaja dengan mempersoalkan kebijaksanaan dan keadilan Allah SWT, sedangkan manusia tidak mengetahui perancangan-Nya. Kelebihan yang diberikan kepada Adam ini meletakkan manusia di atas makhluk-makhluk yang lain, sebagai khalifah di muka bumi, dan melayakkannya untuk mengurus segala sumber yang ada di bumi dan di langit untuk tujuan yang diridhai oleh Allah. Dari sini dapat disimpulkan bahawa kelebihan yang dimiliki oleh Adam, dan kedudukan yang tinggi diberikan kepadanya berbanding makhluk yang lain, memberi isyarat yang jelas bahawa tiada kesamarataan equality antara makhluk-makhluk Allah tersebut. Hakikatnya setiap manusia memiliki personaliti dan keunikan yang tersendiri. Meskipun wujud persamaan tetapi perbezaan itulah yang menjadikan setiap satunya unik dan bernilai. Ketentuan Allah memberi kelebihan kepada sesetengah manusia berbanding yang lain, serta mengangkat sebahagian ke atas sebahagian yang lain merupakan suatu Luqmān 20; al-Jāthiyah12. Surah al-Anʻām 165 “Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalifah di bumi dan meninggikan setengah kamu atas setengahnya yang lain Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 64 tingkatan-tingkatan ini maka peradaban manusia dapat dibangunkan, berbanding apabila semua manusia diberikan kelebihan yang sama maka akan berlaku kekacauan dan keengganan untuk tunduk dan patuh kepada orang lain yang diberikan kelebihan. Kelebihan yang diberikan kepada seseorang individu adalah suatu ujian daripada Allah, yang akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Perbezaan antara mnausia, oleh kerana itu, perlu dilihat secara positif. Mengambil kira perbezaan inilah maka kaum ibu sewajarnya mendapat layanan yang istimewa oleh anak-anaknya. Dalam suatu hadith disebutkan bahawa orang yang paling patut disantuni adalah “ibumu” disebut oleh Rasulullah tiga kali, barulah kemudian “bapamu”. Perbezaan layanan ini adalah sesuatu yang wajar melihat kepada besarnya pengorbanan seorang ibu dalam kehidupan anaknya. Seorang anak akan sangat terhutang budi kepada ibunya, kerana pengorbanan yang dilakukan oleh ibu seperti melahirkan dan menyusukan, sehingga meskipun bapa juga banyak berkorban tetapi pengorbanan ibu jauh lebih besar. Jika perbezaan antara ibu dan bapa yang sah tidak diambil kira maka tiada layanan istimewa diberikan kepada kaum ibu, dan pengorbanan ibu yang besar itu tadi akan terlihat tidak dihargai sewajarnya. Justeru itu layanan sama rata kepada kedua ibu dan bapa, adalah satu bentuk ketidakadilan. Oleh kerana itu layanan berbeza perlu dilakukan kepada dua orang manusia yang memiliki perbezaan yang sah. Justeru, ia tidak wajar dianggap sebagai suatu bentuk diskriminasi. Sebaliknya layanan berbeza kepada dua orang beberapa darjat, kerana Ia hendak menguji kamu pada apa yang telah dikurniakanNya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amatlah cepat azab seksaNya, dan sesungguhnya Ia Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani”. Hadith riwayat Muslim, no. 4621, al-Bukhari, no. 5626. Lihat juga hadith yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Nasa’i dan Ibn Majah yang menyatakan bahawa Syurga berada di bawah telapak kaki ibu Sunan Ibn Majah bi Sharh al-Sindi, 180. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 65 yang tidak berbeza serta tidak memiliki perbezaan yang sah, adalah suatu diskriminasi. Sebagai contoh meskipun seorang khalifah adalah pemimpin masyarakat yang patut mendapat penghormatan dan layanan yang berbeza, namun di mahkamah dan di sisi undang-undang, ia tidak boleh diberikan layanan berbeza dengan yang diberikan kepada orang biasa. Di sisi hukum, keduanya tidak lagi dilihat sebagai pemimpin ataupun rakyat, miskin ataupun kaya, kuat ataupun lemah, tetapi sebagai manusia yang tertakluk kepada undang-undang, sebagai warganegara yang wajib mematuhi undang-undang. Di sini kelebihan yang ada pada khalifah tidak boleh diambilkira meskipun di tempat lain, dalam situasi yang berbeza, ia perlu ditaati dan ini merupakan perbezaan yang sah. Konsep kesetaraan musāwāh atau equality yang dicanangkan oleh sebahagian pemikir Barat bertujuan untuk menghilangkan perbezaan di atas. Konsep equality berasal dari bahasa Perancis, égalité, kemudian menjadi egalitarianism atau equalitarianism dan menjadi tunjang bagi liberalisme pada zaman moden di Barat. Konsep equality jarang digunakan pada masa lalu. Ia hanya popular dan menyebar luas setelah revolusi Perancis. Konsep yang banyak dibahas oleh para sarjana, termasuk ahli falsafah Yunani seperti Aristotle dan para ilmuwan Islam lainnya, adalah justice atau dalam bahasa Arab al-adl keadilan, yang bermaksud meletakkan sesuatu pada tempatnya. Terdapat kisah yang diriwayatkan oleh al-Bayhaqi tentang keadilan Shurayh al-Qadi ketika menyelesaikan kes Sayyidina Ali, khalifah umat Islam ketika itu menentang seorang Nasrani atas kepemilikan baju besi. Kegagalan Sayyidina Ali mendatangkan saksi menyebabkan kes itu dimenangi oleh Nasrani, meskipun sebenarnya baju besi itu milik beliau. Aristotle, Nicomachean Ethics New York Prometheus Books, 1987, 165. Al-Ghazali, Mīzān al-Amal Kaherah Dar al-Maarif, 1961, 273. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 66 Ini kerana, setiap sesuatu ada tempatnya masing-masing yang sesuai baginya dan tidak sesuai bagi yang lain. Equality atau kesetaraan membawa maksud kesamaan sameness, mengisyaratkan penyamarataan levelling, dan jika diletakkan bergandingan dengan gender maka yang berlaku adalah penyamarataan lelaki dengan perempuan. Maka equality cuba menyamaratakan sesuatu yang Allah ciptakan berbeza dan bertingkat. Di dalam al-Qur’an telah dijelaskan bahawa Allah memberikan kelebihan bagi kaum lelaki satu darjat berbanding perempuan. Dalam surah al-Baqarah, ayat 228, Allah berfirman yang bermaksud “Dan isteri-isteri itu mempunyai hak yang sama seperti kewajipan yang ditanggung oleh mereka terhadap suami dengan cara yang sepatutnya; dalam pada itu lelaki suami-suami itu mempunyai satu darjat kelebihan atas orang-orang perempuan isterinya. Dan ingatlah, Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana.” Para Mufassirun menegaskan bahawa meskipun lelaki diberikan kelebihan satu darjat di atas wanita namun kaum wanita mempunyai hak sebagaimana mereka memikul kewajipan. Al-Qurtubi mengatakan bahawa isteri mempunyai hak untuk dilayani dengan baik, dan diperlakukan dengan terhormat oleh suami mereka, sebagaimana mereka diwajibkan untuk mentaati darajah menurutnya lagi bermaksud kedudukan yang lebih di atas kemampuannya untuk berinfaq, membayar diyat, harta waris dan jihad. Dengan kata lain lelaki diberikan kelebihan memimpin rumah tangga kerana tanggungjawab mereka lebih dalam memberi nafkah dan bekerja. Al-Qurtubi, al-Jami li Ahkam al-Qur’an Beirut Mu’assasat al-Risalah, 2006, 4 52. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 67 Dengan kelebihan ini maka lelaki sebagai kepala rumahtangga perlu ditaati dalam perkara yang ma’ruf baik. Demikian juga perempuan mempunyai hak untuk dikasihi, disantuni, dihormati, dijaga dan dipelihara apabila perempuan menunaikan tanggungjawabnya sebagai isteri dan ibu yang membesarkan dan mengasuh anak-anak. Dengan wujudnya persefahaman dan kerjasama, setiap pihak yang jelas tentang kedudukan masing-masing dan tahu kewajipan dan hak masing-masing maka sudah tentu natijah yang muncul adalah keharmonian dan keadilan dalam rumah tangga dan masyarakat. Maka pernyataan bahawa kaum lelaki diberikan satu darjat kelebihan ke atas kaum perempuan bukanlah suatu bentuk diskriminasi. Ia adalah suatu bentuk penegasan tentang letak lelaki suami dan letak perempuan isteri dalam institusi keluarga. Ayat ini perlu dibaca dengan ayat sebelum ini yang menyatakan bahawa kaum lelaki adalah pemimpin kepada kaum dalam ayat ini sebelum Allah menegaskan kelebihan darjat yang diberikan kepada suami, Allah SWT telah terlebih dahulu menjelaskan kewajipan suami menunaikan hak-hak isterinya seimbang dengan kewajipan dan tanggungjawab isteri kepada suami. Di zaman Rasulullah SAW terdapat seorang wanita yang mengadu kepada Baginda akan rasa kurang puas hati sesetengah wanita terhadap kelebihan yang diberikan kepada kaum lelaki. Maka turun ayat yang menegur sikap seperti ini, yang maksudnya Surah al-Nisa’, ayat 34 “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki dengan beberapa keistimewaan atas orang-orang perempuan, dan juga kerana orang-orang lelaki telah membelanjakan memberi nafkah sebahagian dari harta mereka. Maka perempuan-perempuan yang soleh itu ialah yang taat kepada Allah dan suaminya.” Lihat Tafsir Fakhr al-Din al-Razi bagi ayat 32 surah al-Nisa’. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 68 “Dan janganlah kamu terlalu mengharapkan ingin mendapat limpah kurnia yang Allah telah berikan kepada sebahagian dari kamu untuk menjadikan mereka melebihi sebahagian yang lain. Kerana telah tetap orang-orang lelaki ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan orang-orang perempuan pula ada bahagian dari apa yang mereka usahakan; maka berusahalah kamu dan pohonkanlah kepada Allah akan limpah kurniaNya. Sesungguhnya Allah sentiasa Mengetahui akan tiap-tiap sesuatu”.Allah SWT menciptakan manusia tidak sama, masing-masing memiliki kelebihan di atas yang lain, dan setiap orang perlu diletakkan berdasarkan tingkat masing-masing. Meletakkan setiap orang pada tempatnya yang berbeza itu adalah keadilan, sedangkan tindakan menyamaratakan mereka semua adalah ketidakadilan. Kesimpulan Daripada perbincangan di atas jelas bahawa konsep kesetaraan gender yang diutarakan oleh kaum feminis telah mengetepikan hakikat bahawa fiṭrah lelaki dan perempuan berbeza. Perbezaan peranan dan tanggungjawab antara dua gender ini oleh kaum feminis telah dianggap sebagai ketidaksamaratan inequality dan ketidaksamarataan dianggap sama dengan ketidakadilan injustice. Kesalahan besar kaum feminis adalah menganggap bahawa perbezaan lelaki dan perempuan yang ditetapkan oleh Islam adalah suatu bentuk patriarki hanya apabila sesuatu agama itu memberikan kesamarataan maka barulah agama itu tidak lagi dianggap mengamalkan patriarki.’ Di sinilah letak kekeliruan yang besar. Adanya perbezaan tidak bermakna ianya suatu ketidakadilan, kerana keadilan tidak boleh disamakan dengan Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 69 kesamarataan, justeru penyamarataan sesuatu yang berbeza adalah suatu ketidakadilan. Wujudnya perbezaan peranan antara lelaki dan perempuan juga tidak boleh ditafsirkan sebagai penindasan, justeru ia sesuai dengan faham keadilan, iaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya. Para ulama’ yang mentafsirkan al-Qur’an menetapkan apa yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul, iaitu meletakkan lelaki dan wanita di tempat mereka masing-masing sesuai dengan fiṭrah. Mereka tidak melakukannya berdasarkan kepentingan kaum lelaki serta tidak mendikskriminasikan kaum wanita serta berlaku berat sebelah terhadap mereka. Para ulama’ pada dasarnya mengikut kaedah yang disepakati dalam ilmu tafsir, dan tidak mentafsirkan al-Qur’an dengan sewenang-wenang. Dengan pemahaman yang tepat terhadap tafsiran al-Qur’an oleh para ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan bukan tafsiran sempit golongan Pseudo-Salafi, kita mendapati bahawa perempuan dalam Islam tidak ditindas, justeru martabat serta kemuliaan wanita tetap dijaga sebagaimana terbukti dalam sejarah Islam. Perbezaan peranan dan fungsi antara lelaki dan perempuan perlu dilihat sebagai sesuatu yang positif. Justeru dengan adanya perbezaan maka suami dan isteri dapat berkerjasama, boleh saling melengkapi dan hidup bersama. Mereka hanya perlu kedewasaan dan kebijaksanaan dalam menangani perbezaan. Sebaliknya jika keduanya memiliki sifat dan keupayaan yang sama maka kerjasama tidak akan memberi apa-apa nilai tambah, tiada daya tarik antara satu sama lain, dan tidak akan berlaku saling melengkapi. Tiada kekurangan yang boleh dipenuhi oleh pasangannya, dan tiada keperluan untuk mereka hidup bersama. Meskipun terdapat pelbagai bentuk feminisme, namun pada hakikatnya wacana feminisme, baik di Barat mahupun di dunia Islam, adalah bertolak belakang dengan agama, bahkan ada yang anti-agama ataupun sekurang-kurangnya Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 70 berusaha untuk mentafsirkan semula agama agar bersesuaian dengan ideologi feminisme. Pandangan negatif Barat terhadap kedudukan wanita adalah bernuansa kolonialisme dan projek pembebasan wanita yang dilaungkan sejak awal abad ke-20 pada hakikatnya juga adalah untuk kepentingan penjajah. Kerana itu jelas bagi kita bahawa konsep kesetaraan gender gender equality tidak relevan bagi umat Islam. Selain kerana ianya menyalahi aturan dan kehendak Tuhan, iaitu fitrah dan tabiat yang telah Ia tetapkan, juga kerana feminisme muncul di Barat akibat daripada penindasan terhadap kaum wanita. Feminisme di Barat pada dasarnya adalah pemberontakan dan kemarahan terhadap ketidakadilan dan kemarahan yang disalurkan secara halus. Ia adalah perlawanan secara senyap, khususnya melalui penulisan kemudian persatuan-persatuan, terhadap budaya masyarakat yang dikatakan patriarki. Oleh kerana pelaku ketidakadilan ini adalah lelaki, maka lelaki yang menjadi tempat kemarahan itu. Di sinilah letak kesilapannya, sepatutnya masalah ini tidak dilihat tertumpu pada gender tetapi masalah berleluasanya ketidakadilan, masalah sosial dan masalah keruntuhan nilai kemanusiaan, yang berakar pada persoalan metafizik dan pandangan alam. Kesilapan tumpuan ini diakui oleh Doris Lessing 1919-2013, seorang tokoh feminis yang telah melepaskan diri daripada feminisme dan mendapat anugerah Nobel pada tahun 2007, sebagaimana dilaporkan oleh majalah Guardian, Lessing mengatakan “I find myself increasingly shocked at the unthinking and automatic rubbishing of men which is now so part of our culture that it is hardly even noticed”. The Guardian, “Lay off men, Lessing Tells Feminists,” Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 71 Menurut Lessing peperangan lawan jenis sex war yang dilancarkan oleh golongan feminis di Barat sejak abad ke-19 ternyata telah memunculkan suatu budaya di Barat yang juga negatif dan kontra produktif iaitu budaya yang merendahkan kaum lelaki. Rujukan Ahmed, K. ed. The Position of Woman in Islam. Safat Islamic Book Publishers, 1993. Al-Albani, Nasir al-Din. Jilbāb al-Mar’ah al-Muslimah fi al-Kitāb wa al-Sunnah. Beirut Dar al-Salam. 2002. Amin, Qasim. Taḥrīr al-Mar’ah. Kaherah Nawabigh al-Fikr, Aristotle. Politics, terj. Ernest Barker. Oxford Clarendon Press, 1948. Aristotle. Nicomachean Ethics. New York Prometheus Books, 1987. Al-Asfahani, al-Raghib. Mufradāt Alfāẓ al-Qur’ān. Damshiq Dar al-Qalam, 2011. Al-Asqalani, Ibn Hajar. Fatḥ al-Bārī. Riyadh Dar al-Salam, Al-Asqalani, Ibn Hajar. Al-Iṣābah fi Tamyīz al-Ṣaḥābah. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995. Astell, Mary. Political Writings, ed. Patricia Springborg. Cambridge Cambridge University Press, 1996. Al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Al-Attas, Islam and Secularism. Kuala Lumpur ISTAC, 1993. Baring, Evelyn. Modern Egypt. London Macmillan, 1908. Barlas, A. Believing Women in Islam Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Austin University of Texas Press, 2002. Beauvoir, Simone de. The Second Sex. New York Vintage Books, 2011. Bullock, Katherine. Rethinking Muslim Woman and the Veil. Virginia IIIT, 2010. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 72 Al-Ghazali, Abu Hamid. Mīzān al-Amal Kaherah Dar al-Maʻarif, 1961. Al-Ghazali, Abu Hamid. “Iljām al-Awām an Ilm al-Kalām.” Dalam Majmūʻat Rasā’il al-Imām al-Ghazālī. Kaherah Maktabah al-Tawfiqiyyah, Ibn Baz. Risālah Tabḥath fi Masā’il al-Ḥijāb wa al-Sufūr. Madinah al-Jamiʻah a-Islamiyyah, Ibn Khaldun. Muqaddimah Ibn Khaldun Beirut Dar al-Fikr, 2004. Ibn Taymiyyah. Ḥijāb al-Mar’ah wa Libāsuha fi al-Ṣalāh. Riyadh Maktabah al-Maʻarif, 2005. Al-Jurjani. Kitāb al-Taʻrīfāt, ed. Muhammad Siddiq al-Minshawi. Kaherah Dar al-Fadilah, Al-Maqrizi, Ahmad bin Ali. Imtāʻ al-Asmāʻ. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999. Lombard, Denys. Kerajaan Aceh. Jakarta KPG, Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2008. Mernissi, Fatima. “Virginity and Patriarchy.” In Women and Islam, ed. al-Hibri, A. Oxford Pergamon Press, 1982. Mernissi, Fatima. Beyond the Veil. London Al Saqi Books, 1985. Mernissi, Fatima. The Veil and the Male Elite A Feminist Interpretation of Women’s Rights in Islam. New York Basic Book, 1991. Mir-Hosseini, Ziba. Islam and Gender The Religious Debate in Contemporary Iran. New York Princeton University Press, 1999. Muhsin, A. Wadud. Qur’an and Women. Kuala Lumpur Penerbit Fajar Bakti, 1992. Al-Nawawi. Sharḥ Ṣaḥīh Muslim. Beirut Dar al-Maʻrifah, 1998. Al-Qurtubi. Al-Jamiʻ li Ahkam al-Qur’an. Beirut Mu’assasat al-Risalah, 2006. Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur’an. Minneapolis Bibliotheca Islamica, 1980. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 73 Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafātīḥ al-Ghayb. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009. Salih bin Uthaymin. Risalah al-Hijab. Madinah al-Jamiʻah a-Islamiyyah, Sartre, Jean-Paul. Existentialism and Humanism, terj. Philip Mairet. London Methuen, 1948. Spellman, W. M. A Short History of Western Political Thought. London Palgrave-Macmillan, 2011. Stone, Alison. An Introduction to Feminist Philosophy. Cambridge Polity Press, 2007. The Guardian, “Lay off men, Lessing Tells Feminists,” Wadud, Amina. Inside the Gender Jihad. Oxford Oneworld Publication, 2006. Wadud, Amina. Qur’an and Woman. Kuala Lumpur Fajar Bakti, 1992. Wan Mohd Nor Wan Daud. Islamization of Contemporary Knowledge and the Role of the University in the Context of De-Westernization and Decolonization. Johor Bahru Penerbit Universiti Teknologi Malaysia, 2013. Wollstonecraft, Mary. A Vindication of the Rights of Woman. Dublin J. Stockdale, 2010. Al-Zabidi, Muhammad Murtada. Tāj al-ʻArūs. Beirut Dar Sadir, 2011. Zainah Anwar, ed. Wanted Equality and Justice in Muslim Family. Petaling Jaya Musawah Sisters in Islam, 2009. Al-Zamakhshari, Muhammad bin Umar. Asās al-Balāghah. Beirut Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998. Khalif Muaamar & Adibah, “Konsep Kesetaraan Gender Menurut Perspektif Islam & Barat,” Afkar Vol. 21 Issue 2 2019 33-74 74 ... Pengertian gender menurut Harris & Muhtar 2019, bahwa gender dapat diartikan sebagai jenis kelamin sosial atau konotasi masyarakat untuk menentukan peran sosial berdasarkan jenis kelamin. Sementara Fakih 2008 mendefinisikan gender sebagai suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. ...Manusia dan lingkungan adalah dua variabel yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan manusia adalah bagian penting dari lingkungan itu. Buku ini mengulas hal-hal penting terkait dengan aspek sosiologis dari manusia atau masyarakat dari kedudukannya terhadap eksistensi lingkungan. Di dalamnya diketengahkan beberapa konsep sosiologi lingkungan dan penerapannya secara empirik pada dinamika sosial dan lingkungan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Humans and the environment are two variables that are interrelated and cannot be separated. Even humans are an important part of that environment. This book reviews important matters related to the sociological aspects of humans or society from their position in relation to the existence of the environment. In it, several concepts of environmental sociology are presented and their empirical application to social and environmental dynamics that are often encountered in everyday life.... Gender equality does not mean treating men and women equally, but rather realizing fair treatment for men and women by considering the different needs of women and men [18]- [20]. Qualitatively, the direction and targets of gender equality policies are aimed at systematically addressing various gender inequality issues in various development fields [6], [21]. Quantitatively, gender equality refers to 1 Achievement of basic abilities education, health, and economy that is equal for men and women because of the development priorities; and 2 improve the balance of women's representation in the realm of decision-making [22], [23]. ...... One of the big misunderstandings from them is the differences of men and women existed by Islam are a form of patriarchy because they believe that the religion which gives equality is the religion that is no longer used to practice patriarchy A. Harris & Muhtar, 2019. In fact, patriarchy had an enormous impact on women in Islam even though there is no inherent or logical link between patriarchy and Islam Mir-Hosseini 2003, and it has been claimed to be the practice among tribes in the pre-Islamic era. ...In 2015, United Nations UN has implemented 17 Sustainable Development Goals SDGs, where the fifth goal aims to achieve gender equality and empower all women and girls all over the world. The efforts of promoting gender equality are not new, yet it is a continuous mission as a global concern from one generation to another. Islam is one of the religions which attempts to emphasize equality for all mankind. Unfortunately, there are claims that gender inequality and injustice are being justified in the name of Islam. Islamic texts are blamed for having deliberately encouraged gender bias and have shown a preference for males over females. The stereotype image of the female role is continuously portrayed as a symbol of the oppression of Muslim women, even though in the present-day women have been given other significant roles in society. Therefore, this study aims to remove any accusation that claims Islam is an unjust religion towards gender equality and analyse its value within the current context. Applying the qualitative design, this study collects and analyses related verses from the Quran and selected hadiths from six canonical books of hadith known as Kutub Sittah. As a result, the study found the similarity and differences on the concept of gender equality in SDG and the Islamic texts from the Quran and hadith. However, eliminating injustice and discrimination towards women should be significantly continued as a global and humanitarian article aims to analyze the concept of gender equality in Islamic Economics and its implications for national development. The method of writing this paper uses qualitative methods, data and information are collected by conducting a literature search. The results of this study indicate that the accommodation of gender equality will have a good impact on the economic sectors so that it will indirectly support the continuity of the country's economic development, which can be one of the ways to achieve economic growth, eradicate poverty, hunger, so that it becomes an integral part of efforts sustainable development. Keywords Gender Equality, Islamic Perspective, Sustainable Development Abstrak Artikel ini bertujuan untuk menganalisis konsep kesetaraan gender dalam Ekonomi Islam dan implikasinya terhadap pembangunan nasional. Metode penulisan makalah ini menggunakan metode kualitatif, data dan informasi dikumpulkan dengan melakukan penelusuran pustaka. Hasil kajian ini menunjukkan bahwa terakomodasinya kesetaraan gender akan berdampak baik terhadap sector sector perekonomian sehingga secara tidak langsung akan menungjang kelangsungan pembangunan ekonomi negara, yaitu dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, mengentas kemiskinan, kelaparan, sehingga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam upaya pembangunan berkelanjutan. Kata Kunci Kesetaraan Gender, Perspektif Islam, Pembangunan BerkelanjutanSyed Redzuan AlsagoffAsan Ali Golam HassanWan Suhaimi Wan AbdullahChanges in the understanding of gender are making it complicated to use gender as a category of analysis. Previously, it was generally accepted that gender is a binary category, comprising of male and female, based on clear biological distinction. Then came the idea that gender is a sociocultural construct. More recently, gender is said to be based on each person’s personal conception of himself or herself. These novel ideas have detached the meaning of gender from its biological foundation and have consequently made the concept of gender ambiguous and subjective, with theoretically infinite possible interpretations that can formulate an indeterminate number of genders. Such arbitrariness is unsuitable for scientific analysis. Accordingly, mainstream economists, in their aspiration to be scientific, have largely ignored these semantic developments and have continued to use the biologically defined binary categorisation of gender, presumably because of its practicality when used in economic analysis. From an Islamic perspective, economists are right to use such definition of gender, not because it is practical to do so, but because it conforms to reality and truth ḥaqq as revealed by religion. This article discusses these ideas as well as their history and interactions to show that from an Islamic perspective the number of genders is not indeterminate, nor is gender only practically binary, but it is really and truly binary in line with the worldview of de Beauvoirde Beauvoir writes that "humanity is male and man defines woman not in herself but as relative to him; she is not regarded as an autonomous human being" "He is the Subject, he is the Absolute-she is the Other" "When man makes of woman the Other, he may, then, expect her to manifest deep-seated tendancies toward complicity. Thus woman may fail to lay claim to the status of subject because she lacks definate resources, because she feels the necessary bond that ties her to man regardless of reciprocity, and because she is often very well pleased with her role as the Other" "Christ was made a man; yes, but perhaps for his greater humility"Fatima MernissiIt is no secret that when some marriages are consummated, the virginity of the bride is artificial. Enough young women to delight the gynaecologists with the relevant skills, resort to a minor operation on the eve of their wedding, in order to erase the traces of pre-marital experience. Before embarking on the traditional ceremonies of virginal modesty and patriarchal innocence, the young woman has to get a sympathetic doctor to wreak a magical transformation, turning her within a few minutes into one of Mediterranean man's most treasured commodities the virgin, with hymen intact sealing a vagina which no man has then, virginity is a matter between men, in which women merely play the role of silent intermediaries. Like honour, virginity is the manifestation of a purely male preoccupation in societies where inequality, scarcity, and the degrading subjection of some people to others deprive the community as a whole of the only true human strength self- confidence. The concepts of honour and virginity locate the prestige of a man between the legs of a woman. It is not by subjugating nature or by conquering mountains and rivers that a man secures his status, but by controlling the movements of women related to him by blood or by marriage, and by forbidding them any contact with male Position of Woman in IslamRujukan AhmedRujukan Ahmed, K. ed. The Position of Woman in Islam. Safat Islamic Book Publishers, al-Mar'ah. Kaherah Nawabigh al-FikrQasim AminAmin, Qasim. Taḥrīr al-Mar'ah. Kaherah Nawabigh al-Fikr, to the Metaphysics of IslamS M Al-AttasAl-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Kuala Lumpur ISTAC, 1995. Menentukanayat- ayat alkitab tentang Ras, Etnis dan Gender 3.1.3. Menganalisis masalah-masalah Sekitar Ras, Etnis dan Gender 4.4. Membuat proyek mengenai kebersamaan dengan baik yang dapat dilakukannya dalam orang lain tanpa kehilangan identitas 4.1.1. Berbagi cerita mengenai sikap yang kaitannya dengan perbedaan ras, etnis dan gender. 4.1.2 Gender equality is still an interesting issue to be discussed today. Most people, especially those living in various regions in Indonesia, still misinterpret this. Gender equality is seen as an act that puts women first. In Christian circles, this thought is caused by Christian leaders in the past who gave teachings about gender who had unfair treatment between men and women. To provide a solution to these problems, the author uses qualitative research with the literature study method. The author finds that, gender is a characteristic that can be exchanged between each other and can be shared by both. Allah distinguishes the sexes but does not differentiate between the roles of the two. Thus, PAK plays a vital role in building gender understanding in the family and community, especially in the field of education, and in the field of education. AbstrakKesetaraan gender masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan menomorsatukan perempuan. Dalam lingkungan Kristen, pemikiran ini disebabkan karena adanya para tokoh Kristen di masa lalu yang memberikan ajaran tentang gender yang membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Untuk memberi solusi permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis menemukan bahwa, gender adalah sebuah karakteristik yang dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Allah membedakan jenis kelamin manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK berperan penting untuk membangun pemahaman kesetaraan gender di dalam lingkungan keluarga, masyarakat khususnya di bidang pendidikan, dan di gereja. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 160 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 Didaché Journal of Christian Education Vol. 2, No. 2 2021 160–174 e-ISSN 2722-8584 Published by Sekolah Tinggi Teologi Simpson Ungaran DOI Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya Bagi Pendidikan Agama Kristen Yunardi Kristian Zega Universitas Kristen Indonesia email yunardichristian Abstract Gender equality is still an interesting issue to be discussed today. Most people, especially those living in various regions in Indonesia, still misinterpret this. Gender equality is seen as an act that puts women first. In Christian circles, this thought is caused by Christian leaders in the past who gave teachings about gender who had unfair treatment between men and women. To provide a solution to these problems, the author uses qualitative research with the literature study method. The author finds that, gender is a characteristic that can be exchanged between each other and can be shared by both. Allah distinguishes the sexes but does not differentiate between the roles of the two. Thus, PAK plays a vital role in building gender understanding in the family and community, especially in the field of education, and in the field of education. Keywords bible; gender; Christian education Abstrak Kesetaraan gender masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan menomorsatukan perempuan. Dalam lingkungan Kristen, pemikiran ini disebabkan karena adanya para tokoh Kristen di masa lalu yang memberikan ajaran tentang gender yang membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Untuk memberi solusi permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis menemukan bahwa, gender adalah sebuah karakteristik yang dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Allah membedakan jenis kelamin manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK berperan penting untuk membangun pemahaman kesetaraan gender di dalam lingkungan keluarga, masyarakat khususnya di bidang pendidikan, dan di gereja. Kata kunci Alkitab; gender; pendidikan agama Kristen This is an open access article under the CC BY-SA license Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 161 Pendahuluan Kesetaraan gender masih menjadi sebuah isu yang menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Perbincangan tentang kesetaraan gender di Indonesia sudah ada sejak tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan adanya ge-rakan feminisme di Indonesia yang menuntut agar kaum perempuan menda-patkan hak-hak yang sama di lingkungan masyarakat Gunawan, 2017. Walau-pun demikian, sebagian besar orang khususnya yang tinggal di berbagai wilayah desa di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan dan keinginan untuk menomorsatukan perempuan yang ada di berbagai belahan dunia Fauziah, Mulyana, & Raharjo, 2015. Karena masih adanya pemahaman masyarakat yang seperti itu, masyarakat sadar atau tidak sadar membuat suatu perlakuan yang tidak adil terhadap kaum perem-puan, dimana kaum perempuan dianggap sebagai orang yang lemah, perlu dike-sampingkan dan dinomorduakan peran dan fungsinya di kehidupan bermasya-rakat. Dengan demikian, peran yang kaitannya dengan urusan publik diambil alih oleh kaum laki-laki, sedangkan kaum perempuan hanya diberikan peran yang berurusan dengan rumah tangga. Beberapa tokoh terkenal di dalam Kekristenan di masa lalu juga pernah mengungkapkan pendapatnya mengenai hal kesetaraan gender di lingkungan masyarakat. Dalam menyatakan pendapat, mereka sering menggunakan Alkitab sebagai pendukung tafsirannya tersebut. Adapun beberapa tokoh Kekristenan tersebut, sebagai berikut 1 Johanes Calvin mengatakan, perempuan diciptakan lebih rendah dari laki-laki, sehingga perempuan memiliki peran nomor dua dalam hal menentukan fungsinya dalam kehidupan masyarakat, terlebih dalam urusan kepemimpinan publik Murfi, 2014; 2 Thomas Aquinas mengatakan, perempuan adalah manusia yang diciptakan dari laki-laki yang cacat dan me-miliki kekurangan; 3 Immanuel Kant berpendapat, perempuan memiliki pera-saan kuat, cantik, anggun, lemah-lembut, dan sebagainya, namun perempuan kurang dalam aspek kognitif yang berkaitan dengan nalar, sehingga perempuan tidak dapat untuk memutuskan tindakan moral yang tepat. Oleh karena itu, perempuan tidak layak untuk mengambil peran yang lebih luas di dalam ling-kungan masyarakat Kania, 2012. Berdasarkan pendapat tokoh-tokoh Kristen di atas, sadar atau pun tidak sadar, penafsiran seperti ini membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan, khususnya di lingkungan jemaat Kristen. Oleh sebab itu, pe-nulis merasa penting untuk membahas tentang kesetaraan gender dengan mem- 162 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 berikan pemahaman yang baik dan benar dan didasarkan pada ajaran Alkitab. Adapun tujuan penulisan ini, diharapkan ke depannya kesetaraan gender dapat diterapkan dan dilaksanakan dengan adil di dalam lingkungan Kekristenan. Remiswal mengatakan, kesetaraan gender adalah memberikan perlakuan yang adil antara perempuan dengan laki-laki dalam menentukan peran dan fungsinya di tengah lingkungan masyarakat. Perempuan dan laki-laki seharus-nya memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk memperoleh tugas, tanggung jawab, fungsi, dan haknya Remiswal, 2013. Dengan demikian, ke-setaraan gender bukanlah ingin membuat perempuan dapat menyaingi laki-laki dalam mengambil alih tugas, tanggung jawab, fungsi dan haknya, melainkan ialah untuk memberikan keadilan antara laki-laki dan perempuan dalam menen-tukan perannya di kehidupan masyarakat. Jadi, peran para pendidik Kristen sangatlah penting untuk memberikan pemahaman Alkitab yang baik dan benar mengenai kesetaraan gender, baik yang ada di lingkungan keluarga, sekolah, maupun gereja. Metode Dalam penulisan artikel ini, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka library research. Dimana penulis, untuk mem-berikan solusi dari permasalahan yang diangkat dengan mengumpulkan berba-gai teori dan informasi dari bahan kepustakaan, seperti buku, kamus, jurnal, Alkitab, tafsiran, media daring, dan sumber-sumber lainnya. Kemudian, sum-ber-sumber tersebut adalah sumber yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan bahan-bahan yang digunakan dari sumber pustaka tersebut ter-diri dari konsep, pendapat, ide, dan gagasan yang telah dipilih oleh penulis berdasarkan kesesuaian terhadap pembahasan Zaluchu, 2021. Hasil dan Pembahasan Perbedaan Gender dengan Jenis Kelamin Sex Gender berasal dari bahasa Inggris, secara etimologi yang artinya jenis kelamin. Namun, dalam arti yang sesungguhnya pengertian gender berbeda dengan jenis kelamin sex secara biologis. Gender menurut terminologi adalah suatu konsep kultural/budaya yang berusaha untuk membuat perbedaan dalam hal peran, prilaku, mentalitas, dan karakteristik antara laki-laki dan perempuan yang berkembang di kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, gender dapat di- Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 163 definisikan sebagai sebuah harapan masyarakat terhadap laki-laki dan perem-puan dalam menentukan karakteristiknya Rokhmansyah, 2016. Perbedaan gender dan jenis kelamin, yaitu gender merupakan identitas yang didapat dalam proses bersosialisasi dengan lingkungan masyarakat. Kon-sep gender membedakan laki-laki dan perempuan secara kultural/budaya, di mana laki-laki dianggap rasional, kuat, kekar, dan pemberani, sementara perem-puan emosional, cantik, lemah-lemut dan keibuan. Sifat-sifat yang diberikan ter-sebut tidak permanen, bisa berbeda dan dapat dipertukarkan antara satu sama lain. Sedangkan jenis kelamin merupakan identitas biologis yang bersifat alamiah yang merupakan pemberian dari Tuhan. Jenis kelamin merujuk pada identitas seksual yang bersifat fisik dan genetika. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma. Laki-laki dewasa memiliki buah pelir, penis, dan prostate. Susunan kromosom laki-laki adalah XY dan pada saat-saat tertentu memproduksi lebih banyak androgen daripada estrogen. Perempuan memiliki alat reproduksi, rahim, saluran untuk melahirkan, mem-produksi telur, memiliki vagina, dan payudara. Perempuan dewasa memiliki indung telur, uterus, klitoris, dan labia. Susunan kromosom perempuan ialah XX dan pada saat-saat tertentu tubuh mereka memproduksi lebih banyak estrogen dibanding androgen. Organ-organ biologis ini menempel secara permanen pada laki-laki dan perempuan dan tidak dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain, terutama dalam hal fungsinya Zubaedah, 2010. Penjelasan di atas juga sejalan dengan yang dikatakan oleh Ruminiati dalam bukunya yang berjudul Sosio Antropologi Pendidikan Suatu Kajian Multikul-tural yang mengatakan, gender merupakan sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi oleh kebudayaan masyarakat. Gender merupakan perbedaan karakteristik yang tampak pada laki-laki dan perempuan berdasar-kan tingkah laku. Misalnya laki-laki kuat, kekar, rasional, dan pemberani, se-dangkan perempuan lemah-lembut, perasaan, dan keibuan Rumiati, 2016. Oleh karena itu, kesetaraan gender bukan ingin mempersalahkan kodrat yang Tuhan telah berikan kepada manusia, tetapi justru mengembalikan kodrat pada pro-porsi dan fungsi sosialnya, supaya dijalankan secara setara dan adil antara laki-laki dan perempuan. Tuhan menciptakan jenis kelamin, sementara manusia yang menciptakan perbedaan gender antara perempuan dengan laki-laki dalam ke-hidupan masyarakat. Dengan demikian, gender merupakan hal yang dapat dipertukarkan karena dikonstruksi oleh sosial budaya Murfi, 2014. 164 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, gender adalah suatu ka-rakteristik sifat pembeda antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan oleh lingkungan sosial dan budaya. Misalnya laki-laki kuat, tegas, pemberani, ra-sional, pemimpin, dan sebagainya, sementara perempuan penyayang, perhatian, lemat-lembut, keibuan dan sebagainya. Walaupun demikian, karakteristik ter-sebut tidaklah bersifat kodrat melainkan dapat saling dipertukarkan antar satu sama lain, contohnya perempuan juga dapat menjadi seorang yang rasional, pe-mimpin, dan sebagainya. Sedangkan laki-laki juga dapat mejadi seorang yang lemah-lembut, penyayang, perhatian, dan sebagainya. Oleh sebab itu, seharus-nya karakteristik tersebut haruslah terlepas dari tindakan diskriminasi, karena laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam menentukan peran dan fungsinya di kehidupan masyarakat luas. Peran Gender di Lingkungan Masyarakat Peran gender dapat terbentuk melalui berbagai sistem nilai-nilai adat/bu-daya, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peran gender bisa berubah dari waktu ke waktu, situasi, kondisi, dan tempat yang berbeda De Vries, 2006. Pada umumnya, ada 2 aliran yang tersebar di masyarakat luas ten-tang bagaimana cara memahami peran gender yaitu, aliran nature dan nurture. Aliran nature, di mana melihat perbedaan peran gender secara biologis. Misal, laki-laki kuat, kekar/berotot, mempunyai penis, dan sebagainya dan perempuan mempunyai tubuh yang lebih lemah, mengandung, melahirkan, dan menyusui. Untuk itu, peran laki-laki dan perempuan tidak dapat saling dipertukarkan. Se-dangkan aliran nurture berpendapat, peran gender itu dikonstruksi oleh masya-rakat sosial dan dapat saling dipertukarkan oleh keduanya, seperti mencari naf-kah, menjadi pemimpin, menyelesaikan urusan domestik, urusan publik, dan sebagainya Remiswal, 2013. Jadi, dengan adanya perbedaan pemahaman yang dimiliki masyarakat tentang gender tesebut, akan membedakan bagaimana per-lakuan masyarakat terhadap laki-laki dan perempuan dalam menentukan peran dan fungsinya. Selanjutnya, di dalam kebudayaan patriarkat, masyarakat memposisikan kedudukan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Dengan demikian, laki-laki layak dan harus berada di ruang publik. Kegiatan yang diberikan pada laki-laki di ruang publik berisikan aktivitas seperti keterlibatan di organisasi, struk-tural jabatan yang berkaitan dengan fungsinya sebagai atasan, bawahan, atau anggota kelompok, menjadi pemimpin, dan sebagainya. Sedangkan tugas-tugas Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 165 yang diberikan kepada perempuan, yaitu ruang domestik yang bersifat tertutup, berisikan aktivitas kerumahtanggaan seperti mengurus anak, mengurus dapur, memasak, menyuci, besih-bersih rumah, dan sebagainya. Oleh karena itu, dalam kebudayaan patriarkat laki-laki yang adalah kepala keluarga, jarang untuk me-ngerjakan tugas-tugas dalam mengurus rumah tangga dan anak Herdiansyah, 2016. Dalam keyakinan kaum Yahudi, laki-laki dianggap mempunyai peran yang paling penting daripada perempuan. Ketika laki-laki membuat suatu atur-an/norma, maka itu dianggap sebagai suatu kebenaran. Hal tersebut karena pemahaman orang-orang Yahudi mengenai gender dalam Kitab Perjanjian Lama menganggap bahwa, Allah sebagai Bapa menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar untuk membuat aturan/norma kehidupan harus dari pandangan laki-laki. Dengan demikian, hal ini menciptakan sebuah ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat yang menggeser perannya kaum perempuan, orang Yahudi menganggap martabat perempuan sama seperti pembantu. Dalam hal hukum waris, anak laki-laki berhak menjadi pewaris utama dari orang tuanya, sementara anak perempuan yang belum berumur 12 tahun, tidak berhak untuk menerima apa pun dari warisan tersebut. Dalam hukum Yahudi kedu-dukan seorang istri dan anak perempuan sangat lemah sekali, semua harta benda istri harus menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diberikan kepadanya. Di samping itu, kaum perempuan wajib melakukan semua pekerjaan rumah, baik yang berat maupun ringan harus dikerjakan dengan taat Wibowo, 2015. Di dalam Kekristenan, beberapa tokoh juga mengungkapkan pendapat-nya mengenai peran gender. Salah satunya ialah Martin Luther. Luther masih memberikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam hal memperoleh pendidikan. Namun berbeda dengan Erasmus yang justru sangat prihatin terhadap kebiasaan masyarakat dan peraturan gereja yang sering me-rendahkan perempuan, sehingga dia membuat tanggapan bahwa perempuan se-harusnya memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki. Erasmus mengajar ke-pada warga Kristen supaya berpikir lebih manusiawi terhadap kemanusiaan se-mua perempuan Boehlke, 2018. Di sini dapat dilihat, di dalam Kristenan juga sudah sejak lama, ada tanggapan dan perlakuan yang berbeda dalam menen-tukan peran gender dalam lingkungan masyarakat Kristen. Berdasarkan perbedaan tanggapan dan perlakuan di atas, peran gender akan sangat mempengaruhi kontrol sosial dari masyarakat. Misal seharusnya 166 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 laki-laki memiliki sifat karakteristik lebih kuat dari perempuan, jika ada laki-laki yang lebih lemah dari perempuan, maka pemberlakuan kontrol sosial masya-rakat berlaku kepadanya. Kontrol sosial dari masyarakat bisa positif dan negatif. Kontrol positifnya masyarakat akan membentuknya menjadi pribadi yang lebih kuat dari perempuan, sedangkan kontrol negatifnya masyarakat akan mengejek atau menyindirnya karena dia lebih lemah dari perempuan, dan hal ini pun ber-laku sebaliknya kepada kaum perempuan Herdiansyah, 2016. Oleh karena itu, sangat penting adanya pendidikan yang memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat, sehingga ke depannya tidak ada lagi sikap diskriminasi yang dapat merugikan salah satu gender, khususnya di dalam lingkungan Kekristenan. Perspektif Alkitab tentang Kesetaraan Gender Bila gender ditafsirkan menggunakan Alkitab Perjanjian Lama PL de-ngan melihat siapa manusia yang lebih dulu diciptakan oleh Allah, maka itu ada-lah laki-laki Adam, kemudian Allah menciptakan perempuan Hawa untuk menjadi penolong laki-laki. Dengan demikian, posisi laki-laki dinomorsatukan dan perempuan diperbantukan sebagai nomor dua. Inilah tafsiran patriarkhal yang berabad-abad sudah lama menentukan paham Kekristenan Barth & Barth, 2017. Jones 2012 menjelaskan, berdasarkan fakta di dalam Alkitab laki-laki adalah manusia pertama yang diciptakan, setelah itu Allah menciptakan perem-puan dari tulang rusuk laki-laki untuk menjadi penolong laki-laki. Walaupun de-mikian, maksud Allah menciptakan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, bukan berarti kedudukan perempuan lebih tinggi atau pun lebih rendah. Di da-lam Kejadian 218 menjelaskan, Allah menciptakan perempuan sebagai penolong laki-laki yang sepadan, artinya sepadan bahwa laki-laki dan perempuan sejajar dari segi penciptaan Allah. Jadi, perempuan diciptakan Allah untuk laki-laki bukan sebagai budaknya, melainkan sebagai permaisuri yang sepadan dalam bahasa Ibrani kenegdo yang menunjukkan kepada kesesuaian dan kesamaan. Di dalam Kejadian 126-28 dapat dilihat bahwa, Allah menciptakan manusia, yakni laki-laki dan perempuan secara sejajar. Allah memberkati laki-laki dan perempuan serta memberikan hak dan peran yang sama untuk bertang-gung jawab mengurus segala ciptaan-Nya. Christoph Barth dan Marie-Claire Barth mengatakan, Allah menciptakan manusia bentuk tunggal, kemudian membuat mereka bentuk jamak. Di mana laki-laki disebut dengan kata sifat Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 167 maskulin dan perempuan dengan kata sifat feminim. Hal ini menunjukkan bahwa, tidak ada manusia lain yang diciptakan Allah, selain dari jenis maskulin dan feminim. Baik maskulin dan feminim, keduanya sama-sama merupakan ma-nusia yang mencerminkan gambar Allah serta keduanya juga diberkati dan di-berikan kuasa yang sama oleh Allah di dunia ini Barth & Barth, 2017. Jadi, wa-laupun laki-laki dan perempuan diciptakan Allah dengan jenis yang berbeda secara biologis dan memiliki karakteristiknya masing-masing, namun Allah ti-dak membuat perlakuan yang berbeda terhadap keduanya, melainkan membe-rikan tugas dan tanggungjawab yang setara/seimbang, serta memberkati kedua ciptaannya tersebut. Di dalam kisah perjanjian baru juga menceritakan bahwa, Yesus sangat menentang diskriminasi yang terjadi pada zaman-Nya. Yohanes 82-11 mence-ritakan, ketika orang-orang Yahudi menangkap seorang perempuan yang berzi-nah, kemudian mereka membawanya kepada Yesus dan meminta untuk meng-hukum perempuan tersebut, namun Yesus tidak menuruti permintaan mereka. Dalam kisah tersebut dapat dilihat, orang-orang Yahudi tersebut hanya me-nangkap perempuan yang berzinah tetapi tidak menangkap laki-laki yang ber-zinah. Oleh karena itu, Yesus dengan tegas mengatakan kepada mereka “bagi barang siapa yang merasa tidak berdosa hendaknya ia yang pertama kali me-rajam perempuan ini.” Yoh. 87 Perkataan Yesus ini menunjukkan bahwa, Yesus menentang tindakan diskriminasi yang dilakukan oleh orang-orang Ya-hudi tersebut. Hal ini dilakukan Yesus karena, Yesus sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender. Yesus paham bahwa Allah saja tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan Telnoni, 2020. Oleh karena itu, perlakuan yang tidak adil dan diskriminasi tersebut, hanyalah perbuatan yang dibuat oleh manusia. Adapun ayat-ayat Alkitab yang menjelaskan tentang kesetaraan gender dapat ditemukan dalam Kejadian 3412; Keluaran 217; Imamat 121-5; Ulangan 241-4; Samuel 1825; Nehemia 6 Galatia 328 dan lainnya. Kalau kita dapat memahami ayat-ayat ini dengan baik, kita akan menemukan bahwa ayat-ayat ini memperlihatkan laki-laki dan perempuan dengan status sosial yang sama Telnoni, 2020. Kalintabu 2020 mengatakan, Allah dan Yesus memandang laki-laki dan perempuan tidak ada yang inferior dan superior, melainkan keduanya memiliki derajat yang sama dan memiliki kesempatan yang sama untuk me-nikmati anugerah Allah. Jadi, walaupun laki-laki dan perempuan sederajat, na-mun mereka bukanlah serupa. Karena kesederajatan dan keserupaan adalah dua hal yang berbeda. 168 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 Beberapa contoh tokoh yang ada di dalam Alkitab, di mana perempuan memiliki karakteristik yang seharusnya dimiliki laki-laki seperti kuat, tegas, pe-mimpin, dan pemberani. Begitu pun sebaliknya dengan laki-laki yang memiliki karakteristik yang lemah lembut, penyabar, perhatian, dan penyayang, sebagai berikut Dalam Kitab Hakim-Hakim Pasal 4 menceritakan kisah seorang perem-puan yang bernama Debora. Orang-orang Israel pada masa itu, menghadap De-bora untuk berhakim kepadanya. Debora memiliki karisma yang sangat kuat, ka-rena dia juga adalah seorang nabiah Bruce, 2012. Dalam KBBI, karisma adalah suatu keadaan atau bakat yang luar biasa dalam hal kepemimpinan serta atribut kepemimpinan. Pranoto 2020 mengatakan, pemimpin yang berkarisma memi-liki otoritas dan kemampuan dalam memotivasi para pengikutnya. Di dalam se-bagian budaya masyarakat, karateristik tersebut dituntut agar dimiliki oleh kaum laki-laki saja, akan tetapi karakteristik ini Allah berikan kepada Debora. Di sini dapat dilihat bahwa, Allah tidak membedakan/ memisah-misahkan peran antara laki-laki dan perempuan. Untuk itu, Perem-puan juga bisa menjadi se-orang pemimpin yang kuat, tegas, pemberani, dan bijaksana dalam memberikan keputusan, khususnya di lingkungan publik. Selain Debora masih banyak lagi para tokoh perempuan yang dipakai Allah baik dalam kepemimpinannya mau-pun perannya di lingkungan publik, seperti kisah Miryam seorang perempuan pemberani yang menjadi pemimpin bersama Musa dan Harun, serta memiliki gelar nabiah Kel. 1520, Mik. 64, Hulda adalah seorang perempuan yang mem-punyai gelar nabiah dan sangat dihormati pada zaman Raja Yosia, ia adalah se-orang pemimpin rohani yang sangat disegani dan dihormati pada zaman itu 2 Raj. 2214, 2 Taw. 3422, dan Ester seorang perempuan pemberani yang telah menjadi penyelamat dan pahlawan bagi umat Israel Est. 71-10. Cerita sebaliknya juga dapat dilihat dalam Kejadian pasal 37-45 seorang laki-laki yang bernama Yusuf. Dalam kisah tersebut menceritakan, Yusuf men-dapat perlakukan yang tidak baik dari saudara-saudaranya. Walaupun demi-kian, Yusuf diberikan Allah karakteristik yang lemah lembut, penyabar, perha-tian, penyayang, dan mudah memaafkan terhadap perlakuan saudara-saudara-nya. Karakteristik tersebut seharusnya dimiliki oleh kaum perempuan, namun Yusuf juga memilikinya meskipun dia laki-laki. Selain Yusuf masih banyak lagi laki-laki di dalam Alkitab yang memiliki karakteristik tersebut, seperti cerita Ishak dengan gembala-gembala Gerar yang mengakui sumur kepunyaan Ishak sebagai milik mereka, namun Ishak selalu mengalah, sabar dan tetap rendah hati Kej. 261-31. Kemudian, seorang laiki-laki bernama Yesaya yang memiliki sikap Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 169 yang sangat lembut dan rendah hati Yes. 65. Yesus Kristus yang memiliki karakteristik yang lemah lembut, pengasih, dan penyayang kepada semua orang Mat. 85-7; 1129. Rasul Paulus yang memiliki karakteristik yang rendah hati 1 Kor. 24-5; 158-10; 1 Tim. 115-16, dan masih banyak lagi tokoh Alkitab lainnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, peran gender me-rupakan sebuah karakteristik yang bisa saling dipertukarkan antara laki-laki dengan perempuan dan karakteristik tersebut juga dapat dimiliki oleh kedua-nya. Barth mengatakan, manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan meru-pakan mitra yang sederajat dan hendaknya saling tolong menolong tidak hanya di dalam keluarga, melainkan juga di lingkungan masyarakat publik. Demi-kianlah manusia menurut rencana Allah, Allah membedakan jenis kelamin ma-nusia namun tidak membuat perbedaan peran antara keduanya Barth & Barth, 2017. Oleh karena itu, kesetaraan gender perlu untuk dibangun dalam masya-rakat luas, sehingga laki-laki dan perempuan dapat lebih leluasa untuk mengem-bangkan kemampuan dan potensi yang ada di dalam dirinya, tanpa ada rasa takut karena adanya bayang-bayang dari perbedaan gender yang diciptakan oleh budaya masyarakat. Implikasinya bagi Pendidikan Agama Kristen Pendidikan agama Kristen PAK merupakan suatu pelayanan dalam bidang pendidikan yang memberikan pondasi pengajaran iman Kristen bagi peserta didik melalui keluarga, gereja, dan sekolah Nainggolan & Zega, 2021. Seorang pendidik PAK haruslah menjadikan dasar utama dalam setiap penga-jarannya berdasarkan pengetahuan Alkitab yang baik dan benar, khususnya dalam mengajarkan kesetaraan gender. Murfi 2014 mengatakan, pendidikan agama tentang kesetaraan gender bertujuan untuk memberikan perlakuan yang adil antara perempuan dan laki-laki dalam menentukan perannya, sehingga laki-laki dan perempuan memiliki peluang dan kesempatan yang sama untuk mem-peroleh tugas, tanggung jawab, fungsi dan haknya dalam masyarakat. Oleh karena itu, peran PAK dalam membangun kesetaraan gender sangatlah penting, baik dalam kehidupan berkeluarga, lingkungan pendidikan sekolah, maupun dalam lingkungan gereja. Implikasi Bagi Kehidupan Berkeluarga Dalam membangun kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, suami dan istri harus saling bekerjasama dan tolong-menolong membangun 170 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 kehidupan keluarga agar menjadi lebih baik dari sisi keharmonisan keluarga, ekonomi keluarga, serta pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak. Adapun beberapa cara dalam membangun kesetaraan gender dalam kehidupan berkeluarga, antara lain Pertama, dalam mengajarkan PAK keluarga tentang kesetaraan gender, orang tua perlu memiliki pemahaman yang baik dalam me-mahami Alkitab, di mana para orang tua harus paham tentang perbedaan jenis kelamin yang diciptakan oleh Allah dan perbedaan peran gender yang terbentuk dalam budaya masyarakat. Dengan demikian, orang tua dapat mengambil ke-putusan dalam menentukan perilakunya dalam kehidupan berumah tangga, serta dapat mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kesetaraan gender yang berdasarkan kebenaran Alkitab. Kedua, dalam mengambil setiap keputusan di dalam keluarga sebaiknya tidak hanya di dasarkan oleh keputusan dari suami saja. Namun, kepala keluarga suami perlu mengajak istri dan anggota keluarga lainnya untuk sama-sama berunding mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang dihadapi oleh semua anggota keluarga, serta selalu memberi kesempatan kepada istri dan anggota keluarga lainnya untuk mengemukakan pendapat dan mempertim-bangkan setiap pendapat yang telah disampaikan Putri & Lestari, 2015. Ketiga, dalam mengelolah keuangan sebaiknya suami tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah tunggal, melainkan istri juga dapat bekerja untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga, seperti banyak perempuan yang bekerja di kantor, di pabrik, berjualan di pasar dan sebagainya, sehingga perempuan tidak hanya mengurusi wilayah domestik saja seperti mengurus rumah tangga, memasak, menyuci, menyapu, dan sebagainya Putri & Lestari, 2015. Keempat, dalam mengasuh anak sebaiknya tidak hanya dibebankan kepada istri saja, melainkan tugas dan tanggungjawab bersama suami-istri. Untuk itu, kedua orang tua harus bekerjasama atau pun saling bergantian untuk mengawasi serta memberikan nasihat kepada anak-anaknya Putri & Lestari, 2015. Kelima, dalam memberikan didikan dan kasih sayang kepada anak-anak, orang tua harus berlaku adil baik perempuan maupun laki-laki harus diberikan didikan dan kasih sayang yang adil tanpa melihat perbedaan jenis kelamin Zega, 2021. Implikasi Bagi Lingkungan Pendidikan Sekolah Dalam membangun kesetaraan gender dalam masyarakat luas khususnya dalam lingkungan pendidikan sekolah. Guru PAK mempunyai peran yang cu- Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 171 kup penting dalam memberikan pemahaman yang baik bagi siswa-siswinya tentang kesetaraan gender, adapun langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh guru PAK dan sekolah, antara lain Pertama, guru PAK perlu membangun sikap sensitif gender. Allah menciptakan laki-laki dan perempuan sepadan. Jadi, tidak ada yang lebih dominan antara gender laki-laki dan perempuan Kej. 218. De-ngan tetap mempertimbangkan nilai-nilai kodrati, penerapan gender dalam pembelajaran di sekolah harus proporsional kepada semua siswa-siswinya Indrapangastuti, 2014. Untuk itu, seorang guru PAK harus memiliki pema-haman yang baik tentang kesetaraan gender. Kedua, perlu merumuskan reorientasi kurikulum pendidikan sekolah alternatif yang sensitif gender, sehingga saling menghormati satu sama lain an-tara laki-laki dan perempuan tanpa melihat perbedaan secara biologis Efendy, 2014. Ketiga, perlu mengimplementasikan program perwujudan kesetaraan hak pendidikan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam berbagai jenjang dan jenis pendidikan Efendy, 2014. Keempat, perlu memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengaktualisasikan diri dalam proses kegiatan belajar-mengajar di sekolah Efendy, 2014. Kelima, guru PAK haruslah seorang yang mempunyai keteladan yang baik dalam mewujudkan kesetaraan gender dan tidak bersikap diskriminatif kepada salah satu gender. Keenam, guru PAK harus memiliki sensitifitas terhadap permasalahan gender yang terjadi di lingkungan sekolahnya. Implikasi Bagi Lingkungan Gereja Dalam lingkungan gereja, perempuan juga memiliki hak yang sama dalam melayani Allah. Allah menciptakan jenis kelamin, sementara manusialah yang menciptakan perbedaan gender bagaimana menjadi perempuan dan laki-laki. Oleh sebab itu, lingkungan gereja seharusnya dapat bersikap bijak dalam menyikapi hal tersebut, karena laki-laki dan perempuan adalah makluk ciptaan Allah yang diciptakan setara dan sejajar serta sama-sama telah diberkati Allah. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan agar jemaat memiliki pemahaman mengenai kesetaraan gender yang adil dalam lingkungan gereja, antara lain Pertama, membuat Pendalaman Alkitab PA dengan penafsiran yang baik dan benar dalam memberikan pemahaman tentang kesetaraan gender, khususnya dalam memberikan penafsiran kitab Perjanjian Lama tentang penciptaan laki-laki dan perempuan. 172 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 Kedua, memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perem-puan untuk memajukan pelayanan gereja, misalnya dalam membuat rapat ke-pengurusan gereja perlu melibatkan kaum perempuan serta menghargai dan mempertimbangkan setiap pendapat mereka. Ketiga, Memberikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam mengaktualisasikan diri dalam segala bentuk kegiatan dan aktivitas pelayanan di gereja. Keempat, Memberikan semi-nar kepada para jemaat dan orang-orang Kristen lainnya tentang kesetaraan gen-der di kalangan Kristen, sehingga semakin banyak jemaat Kristen yang mem-punyai pemahaman yang benar mengenai kesetaraan gender, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, dan gereja. Rekomendasi Penelitian Lanjutan Pengimplementasian kesetaraan gender dalam kehidupan masyarakat Kristen, baik di dalam keluarga, gereja, dan masyarakat luas merupakan hal yang penting untuk diterapkan sehingga tidak muncul perlakuan yang diskri-minatif antara laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, penelitian selanjutnya dapat mengembangkan dan mengkaji tentang langkah-langkah apa saja yang dapat ditempuh gereja dalam menghadapi permasalahan-permasalahan menge-nai kesetaraan gender yang masih terjadi hingga saat ini, khususnya di ling-kungan gereja. Pembahasan lanjutan ini akan menarik dalam memperkaya ka-jian-kajian tentang kesetaraan gender yang Alkitabiah. Kesimpulan Gender adalah suatu karakteristik sifat pembeda antara laki-laki dan pe-rempuan yang terbentuk baik dalam lingkungan sosial maupun budaya. Misal-nya laki-laki harus kuat, tegas, pemberani, rasional, pemimpin dan sebagainya, sementara perempuan penyayang, perhatian, lemat-lembut, cengeng, keibuan dan sebagainya. Oleh karena itu, karakteristik tidaklah bersifat kodrat atau dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan seharusnya karakteristik tersebut terlepas dari tindakan diskriminasi masyarakat. Di dalam Alkitab menjelaskan bahwa gender adalah sebuah karakteristik yang bisa saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Dalam kitab kejadian melihat manusia dalam bentuk laki-laki dan perempuan sebagai mitra yang setingkat dan sederajat yang hendaknya saling tolong-menolong, tidak di keluarga saja, melainkan juga di lingkungan publik. Demikianlah manusia menurut rencana Allah, Allah membedakan jenis kelamin Y. K. Zega, Perspektif Alkitab Tentang Kesetaraan Gender dan Implikasinya …. 173 manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK memiliki peran yang penting untuk memberikan kesetaraan gender yang adil baik di dalam lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat khususnya pendidikan sekolah, maupun di lingkungan gereja. Rujukan Barth, C., & Barth, M. C. 2017. Teologi Perjanjian Lama 1. Jakarta BPK Gunung Mulia. Boehlke, R. R. 2018. Sejarah Perkembangan Pikiran & Praktek Pendidikan Agama Kristen Dari Plato Sampai Ignatius Loyola. Jakarta BPK Gunung Mulia. Bruce, F. F. 2012. Tafsiran Alkitab Masa Kini 1 Kejadian-Ester, Terj. Sijabat. Jakarta Yayasan Komunikasi Bina Kasih. De Vries, D. W. 2006. Gender Bukan Tabu Catatan Perjalanan Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor Center For International Foresty Research. Efendy, R. 2014. Kesetaraan Gender Dalam Pendidikan. Jurnal Al-Maiyyah, 72, 142–165. Fauziah, R., Mulyana, N., & Raharjo, S. T. 2015. Pengetahuan Masyarakat Desa Tentang Kesetaraan Gender. Prosiding Penelitian Dan Pengabdian Kepada Masyarakat, 22. Gunawan, L. 2017. Kesetaraan dan Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Kritik terhadap Gerakan Feminisme. Societas Dei Jurnal Agama Dan Masyarakat, 32, 288. Herdiansyah, H. 2016. Gender Dalam Perspektif Psikologi. Jakarta Salemba Humanika. Indrapangastuti, D. 2014. Praktek dan Problematik Pendidikan Multikultural di SMK. Jurnal Pembangunan Pendidikan Fondasi Dan Aplikasi, 21, 13–25. Jones, H. R. 2012. Tafsiran Alkitab Masa Kini 1 Kejadian-Ester. Jakarta Yayasan Komunikasi Bina Kasih. Kalintabu, H. 2020. Kajian Teologis Tentang Perempuan dan Peranannya dalam Pendidikan Agama Kristen Gereja. Jurnal Shanan, 41, 57–72. Kania, D. D. 2012. Isu Gender Sejarah Dan Perkembangannya. Murfi, A. 2014. Bias Gender dalam Buku Teks Pendidikan Agama Islam dan Kristen. Jurnal Pendidikan Islam, 32, 267. 174 Didaché Journal of Christian Education, Vol. 2, No. 2 2021 Nainggolan, J. P., & Zega, Y. K. 2021. Konsep Kelompok Sel Sebagai Revitalisasi Pendidikan Agama Kristen Dalam Gereja. TELEIOS Jurnal Teologi Dan Pendidikan Agama Kristen, 11, 15–29. Pranoto, M. M. 2020. Sisi Gelap Kepemimpinan Pentakostal-Karismatik. GEMA TEOLOGIKA Jurnal Teologi Kontekstual Dan Filsafat Keilahian, 52, 175. Putri, D. P. K., & Lestari, S. 2015. Pembagian Peran Dalam Rumah Tangga Pada Pasangan Suami Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 161, 72–85. Remiswal. 2013. Menggugah Partisipasi Gender di Lingkugan Komunitas Lokal. Yogyakarta Graha Ilmu. Rokhmansyah, A. 2016. Pengantar Gender dan Feminisme Pemahaman Awal Kritik Sastra Feminisme. Samarinda Penerbit Garudhawaca. Rumiati. 2016. Sosio Antropologi Pendidikan Suatu Kajian Multikultural. Malang Gunung Samudera. Telnoni, B. 2020. Peran Pendidikan Agama Kristen Dalam Membelajarkan Kesetaraan Gender Pada Anak Usia Dini. Jurnal Abdiel Khazanah Pemikiran Teologi, Pendidikan Agama Kristen Dan Musik Gereja, 42, 167–179. Wibowo, F. 2015. Gender dalam Perspektif Yahudi. Zaluchu, S. E. 2021. Metode Penelitian di dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan. Jurnal Teologi Berita Hidup, 32, 249–266. Zega, Y. K. 2021. Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga Upaya Membangun Spiritualitas Remaja Generasi Z. JURNAL LUXNOS, 71, 105–116. Zubaedah, S. 2010. Mengurai Problematika Gender Dan Agama. Jurnal Studi Gender & Anak, 52, 243–260. ... Hal ini disebabkan oleh budaya patriarki yang sudah berlangsung lama yang telah menundukkan perempuan di bawah otoritas laki-laki selama ribuan tahun. Pengejaran kesetaraan gender terus menjadi wacana yang menarik, sebagaimana dibuktikan oleh upaya gerakan feminis Indonesia untuk menuntut persamaan hak bagi perempuan dalam masyarakat Zega, 2021. Di berbagai belahan dunia, gagasan paritas gender dianggap sebagai upaya atau cita-cita yang mengutamakan pemberdayaan perempuan Fauziah, Mulyana, & Raharjo, 2015. ...Fransesco Agnes RanubayaYohanes EndiThe Catholic Church has always provided space to fight for justice and gender equality to fulfill God's mission in the world. Women's lives have changed dramatically over the past quarter century. Progress on gender equality remains limited. The still strong patriarchal culture prolongs the suffering of the helpless and complicates the struggle and change toward justice and gender equality. Discrimination against women is a common problem in almost all occupations, even in most parts of the world. It can be understood that gender is a distinction that is neither biological nor divine nature. The purpose of this study is to raise the theme of gender equality which is discussed based on Church documents, namely Gaudium Et Spes art. 9 and art. 29. This research uses a type of library research, which has the aim of tracing and analyzing data or information about the essence of Gaudium Et Spes Article 9 and Article 29 documents concerning Gender Equality. The contribution of Gaudium Et Spes Art. 9 and Art. 29 is that the similarities between men and women are through the institution of goodwill in the sense that both men and women participate in what the church stands for, which is the struggle to shape human life more humanely. The Catholic Church also stressed that this will take a long time, considering that the fight for gender equality is not easy, especially in a world that is heavily influenced by patriarchy. In addition, this research is useful to open horizons regarding gender equality and everyone, both men and women, realize the differences that exist as God's goodwill. Through this document, the Church strives to think about how gender issues are taken seriously to avoid injustices in public PasangPenting untuk memahami arti kata sepadan karena persoalan di seputar laki-laki dan perempuan, suami dan isteri bukanlah sesuatu yang baru karena telah terjadi sejak kejatuhan manusia dalam dosa sebagaimana dijelaskan dalam Kejadian 3. tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan makna kata "sepadan" dalam Kejadian 218 sebagai pedoman bagi relasi suami-isteri dalam keluarga kristen. Dalam mengkaji topik ini metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi literatur dan eksegese teks Kejadian 218. Kesimpulan menjadi "sepadan" tidak hanya bergantung pada satu pribadi tertentu saja melainkan memerlukan peranan dari semua aspek yang ada di dalamnya baik sebagai seorang suami laki-laki, perempuan isteri, dan anak-anak sehingga menjadi satu keluarga yang utuh secara khusus dalam konteks sebagai keluarga SetiantoThe issue of Gender does not yet have a common ground. Women are always considered weak and helpless human beings. However, in some ethnic groups in Indonesia, the opposite is true. Men are deemed to have no value to women. This study aims to examine the concept of gender equality from a biblical perspective. As the primary source of teaching authority, the Bible provides a solid picture of gender equality. The research method used is exploratory qualitative. The results of the study state that the Bible consistently discusses the principle of gender equality. Because gender equality is essential, many activists voice this principle in the struggle for human rights. Therefore, viewing humans as the noblest created beings is the basis for this struggle for gender equality. Thus, opportunities and responsibilities in all aspects of life own by all humans and created by agama Kristen berlangsung secara normatif-ritualistik-konvensional dan cenderung membatasi diri pada perubahan serta menunjukkan praksis di zona nyaman. Praksis semacam itu mengindikasikan bahwa kepedulian dan kepekaan dalam dinamika PAK hanyalah menjadi tugas orang-orang tertentu. Kerapuhan praksis PAK semakin terlihat ketika berjumpa pada masa dimana kecekatan, kapasitas dan kualitas menjadi orientasi dalam sistem sosial. PAK harus mampu menghadapi berbagai isu sosial sekaligus berupaya memperkokoh pondasi serta menjadi jawaban atas kebutuhan dan pergumulan hidup orang-orang. Oleh karena itu, PAK harus direkonstruksi secara kontekstual dan inovatif sehingga PAK benar-benar hadir menjadi wahana dimana orang-orang dapat belajar memaknai hidup dan berdampak bagi banyak orang. Dengan metode penelitian deskriptif-analitis, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis berbagai persoalan dalam praktik PAK, baik di sekolah, gereja dan keluarga atau masyarakat, serta menghadirkan rumusan strategi yang kontekstual dan inovatif dalam praksis PAK. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perhatian PAK tidak hanya sebatas di sekolah, masyarakat atau keluarga dan gereja namun lebih luas menjangkau isu-isu sosial lainnya yang melekat dengan tugas dan panggilan PAK. Berbagai permasalahan atau fenomena yang terjadi dalam kaitannya dengan praksis PAK menegaskan pentingnya upaya rekonstruksi strategi PAK yang kontekstual dan inovatif. Rekonstruksi strategi PAK dimaksudkan agar memperkuat bangunan PAK yang rapuh dan tidak adaptif dengan perkembangan dan kemajuan zaman dewasa RinuktiHarls Evan R. SiahaanAgustin Soewitomo PutriThis manuscript is a study considering to the phenomenon of gender discrimination that still occurs in Christianity. The purpose of this study was to construct the idea of gender equality and justice within the framework of Pentecostal Hospitality Theology. The method used in this research was descriptive analysis and constructive argumentative using literature data related to Hospitality Theology, especially, the Pentecostalism’s response to the issue of gender equality and justice. As a result, Hospitality Theology is a theological construction that expresses openness to all differences equally and fairly. In conclusion, Pentecostal Hospitality Theology cannot be separated from the event of the outpouring of the Holy Spirit. It departs from the narrative virtues of the early church which welcomed different and foreign identities in equality and justice. Abstrak. Naskah ini merupakan sebuah kajian yang memperhatikan fenomena diskriminasi gender yang masih terjadi di kekristenan. Tujuan kajian ini adalah mengonstruksi ide kesetaraan dan keadilan gender dalam bingkai Teologi Hospitalitas Pentakostal. Metode dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif dan argumentatif konstruktif dengan menggunakan data literatur yang terkait dengan Teologi Hospitalitas, khususnya sikap Pentakostalisme terhadap isu kesetaraan dan keadilan gender. Hasilnya, Teologi Hospitalitas merupakan konstruksi teologis yang mengekspresikan keterbukaan pada segala perbedaan secara setara dan berkeadilan. Sebagai kesimpulan, Teologi Hospitalitas Pentakostal tidak dapat dilepaskan dari peristiwa pencurahan Roh Kudus dan berangkat dari virtue naratif jemaat mula-mula yang menyambut identitas berbeda dan asing dalam kesetaraan dan Piter Nainggolan Yunardi YunardiAbstrakKelompok sel di gereja terhadap anak, remaja/pemuda, serta orangtua bertujuan untuk mengajar dan memperlengkapi pelayanan gereja sehingga terjadi multiplikasi. Kelompok sel harus diawali dengan melayani Tuhan, berdoa, dan berada dalam sebuah kesatuan. Kelompok sel merupakan kelompok kecil yang tidak lebih dari 12 orang untuk bertemu secara teratur sebagai sarana agar tiap anggota dapat mempelajari firman Tuhan dan membagikan pengalaman hidup dalam suasana persaudaraan yang akrab dan menyenangkan untuk bertumbuh pada pengenalan akan Yesus Kristus. Perlu adanya kegiatan kelompok sel di gereja karena ibadah yang dilaksanakan pada hari minggu, umumnya tidak akan dapat memenuhi kebutuhan tersebut karena ibadah hari minggu hanya komunikasi satu arah. Oleh karena itu, penulis dalam artikel ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana prinsip kelompok sel sebagai revitalisasi pendidikan agama Kristen di gereja kepada setiap anggota jemaat. Hasil dari penelitian ini adalah kelompok sel dapat menjadi salah satu metode yang ampuh bagi gereja untuk mencapai penyempurnaan orang-orang kudus dalam pekerjaan/pelayanan Tuhan Ef. 413. Kata Kunci Gereja; Kelompok Sel; Pendidikan Agama Kristen; Revitalisasi AbstractCell groups in the church for children, youth/youth, and parents aim to teach and equip church services so that multiplication occurs. The cell group must begin with serving God, praying, and being in oneness. Cell groups are small groups of no more than 12 people to meet regularly as a means so that each member can study God's word and share life experiences in a close and pleasant brotherly atmosphere to grow in the knowledge of Jesus Christ. There is a need for cell group activities in the church because worship held on Sundays, generally will not be able to meet these needs because Sunday worship is only one-way communication. Therefore, the author in this article aims to explain how the principle of cell groups as a revitalization of Christian religious education in the church to every member of the congregation. The result of this research is that cell groups can be a powerful method for the church to achieve the perfection of the saints in God's work/service Eph. 413. Keywords Church; Cell Groups; Christian education; Revitalization Sonny ZaluchuA common problem regarding the method section in the structure of scientific journals is that they are written in general and not typical. A research method must report the procedures the researcher takes to carry out his research. The contents are not the same as the method descriptions in other studies. Therefore, this paper aims to explain the importance of methods in the structure of writing scientific journal articles. In particular, several methods commonly referred to in theological research are presented descriptively and topically. The conclusion obtained is, with the correct understanding of the research method, lecturers or researchers can produce theological research work that can be accounted for its academic validity. Research contribution This paper provides insights to lecturers and researchers in writing and formulating methods in scientific journal papers and contributing material in writing scientific umum mengenai bagian metode di dalam struktur jurnal ilmiah adalah ditulis secara umum dan tidak khas. Padahal, sebuah metode penelitian harus melaporkan prosedur yang ditempuh peneliti untuk menjalankan penelitiannya. Isinya tidak sama dengan penjelasan metode pada penelitian lain. Oleh karena itu paper ini bertujuan menjelaskan tentang pentingnya metode di dalam struktur penulisan artikel jurnal ilmiah. Secara khusus dipaparkan secara deskriptif dan topikal beberapa metode yang umum dirujuk dalam penelitian teologis. Kesimpulan yang diperoleh adalah, dengan pemahaman yang benar tentang metode penelitian, dosen atau peneliti dapat menghasilkan karya penelitian teologis yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya secara akademik. Kontribusi penelitian Paper ini memberikan wawasan kepada dosen dan peneliti di dalam menulis dan merumuskan metode dalam paper jurnal ilmiah dan menyumbang materi dalam penulisan karya TelnoniArtikel ini merupakan upaya memasukan pendidikan agama Kristen dalam membelajarkan kesetaraan gender pada anak sejak usia dini. Kesetaraan gender adalah sebuah kondisi di mana perempuan dan laki-laki menikmati status yang sama atau setara dan memiliki suatu kondisi yang sama serta mewujudkan hak-hak asasi secara penuh dan memiliki potensinya bagi pembangunan dalam segala bidang kehidupan. Dalam lingkungan masyarakat, kesetaraan gender masih menjadi sebuah masalah yang tren. Masyarakat pada umumnya memiliki pandangan bahwa laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan. Artinya laki-laki dianggap lebih kuat dari perempuan, sedangkan perempuan adalah kaum yang lemah dan harus tunduk penuh pada laki-laki. Konsep tersebut sudah menjadi hal yang biasa pada masyarakat, walapun kaum perempuan telah memperjuangkan keadilan ini dengan berbagai macam cara tetapi hasilnya masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, pendidikan agama Kristen memiliki peran yang sangat penting dalam membelajarkan kesetaraan gender pada anak sejak usia dini melalui pengajaran pendidikan agama Kristen di lingkungan keluarga, gereja, dan sekolah. Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif yaitu menggunakan kajian-kajian ilmiah dan data kepustakaan yang mengacu sesuai masalah yang akan di kaji dalam artikel ini. Tujuan peran pendidikan agama Kristen dalam membelajarkan penyeteraan gender pada anak sejak usia dini di lingkungan keluarga, gereja, dan sekolah sebagai upaya untuk mengatasi masalah penyetaraan gender yang terjadi dalam lingkungan GunawanThis article with a title The Equality and Distinction Between Man and Woman A Critique to the Feminist Movement", will firstly discuss about the feminist movement comprehensively and afterward itu will discuss about the feminist movement within Christianity, gender-equality issues, as well as the distinction between man and woman from the view of Christian feminism. After these, it will be discussed gender-equality issues and the distinction between man and woman from the perspective of Reformed theology. Then a critique to the feminist movement within Christianity will be discussed. The finding of this article is that the feminist movement within Christianity has indeed grown a better appreciation for the woman, especially in the equality between man and woman wich is a reality. The consequence is the authority of the Bible is accused by this Christian feminist movement. KEYWORDS feminism, Christian feminism, equality, distinction, Reformed Masyarakat Desa tentang Kesetaraan Gender. Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada tahun 1990-an. Walaupun isu gender telah lama merebak di Indonesia, namun banyak orang yang masih salah mengartikan tentang konsep gender dan kesetaraan gender. Selain gender yang sering disamakan dengan arti seks jenis kelamin, kemudian salah arti lainnya dimana kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan atau keinginan menomorsatukan perempuan yang ada di belahan dunia. Sebuah penelitian pada kelompok perempuan petani pedesaan di Jambi mengungkapkan bahwa pada awalnya masyarakat setempat sangat risih berbicara dengan kesetaraan beranggapan bahwa kesetaraan gender adalah hal yang tidak lazim dibicarakan, terlalu vulgar dan mendukung aliran liberalisasi serta sekularitas. Penulis memandang kesetaraan gender ini dapat dijunjung tinggi melalui perubahan pola pikir masyarakat yang berkembang saat ini. Pola pikir yang positif tentang kesetaraan gender akan membantu mengurangi kasus-kasus ketimpangan gender di Indonesia. Mengubah pola pikir masyarakat tentunya harus didasarkan pada pengetahuan masyarakat di daerah itu sosial khususnya bidang pekerja sosial feminis bertugas untuk mengubah pola pikir dan mengedukasi masyarakat baik kaum laki-laki maupun dari artikel ini bahwa masyarakat khususnya masyarakat pedesaan memerlukan tambahan pengetahuan tentang kesetaraan gender. Pemahaman tentang kesetaraan gender yang positif pada masyarakat memiliki banyak manfaatnya dalam kehidupan terutama untuk mengurangi kasus-kasus ketidakadilan gender dan permasalahan rumah tangga. Adapun yang menjadi dasar bagi pekerja sosial dalam melakukan intervensi ialah pendidikan, umur, dan sumber informasi di suatu daerah atau masyarakat KalintabuAbstrak Peran perempuan pada masa kini bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Tulisan ini memuat kajian tentang perempuan, feminisme, kesamaanesensial laki-laki dan perempuan, pandangan teologis tentang perempuan, dan peranannya dalam pendidikan agama Kristen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Yang bermaksud memahami suatu fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainlain, secara holistik di dalam gereja. Cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Hasil dari penelitian ini adalah perempuan yang memiliki latar belakang Pendidikan Agama Kristen dapat berperan di dalam gereja sebagai pendeta Pendidikan Agama Kristen, pengajar, diaken, anggota di dalam badan atau komisi Pendidikan Agama Kristen, dan guru Sekolah Minggu. Ilmu pengetahuan tentang Pendidikan Agama Kristen yang dimiliki oleh kaum perempuan adalah anugerah Allah, yang sudahseharusnya untuk dikembangkan dan dipraktikkan di dalam Kunci Perempuan, Pendidikan Agama Kristen GerejaMinggus M. PranotoThis article highlights a critical question why is Pentecostal-Charismatic leadership vulnerable to various scandals? This model of leadership often exposes the dark side of leadership characterized by the issues of money, sex, and power. This study suggests that Pentecostal-Charismatic leaders are often trapped in the model of personalized charismatic leadership that is based on misinterpretation of the doctrine of being Spirit-filled. The method used in this article is that of practical theology relating the framework of socialized charismatic leadership to the theological concept of the church ekklesia as the body of Christ and the fellowship of the Holy Spirit. Abstrak Tulisan ini menyoroti pertanyaan kritis mengapa kepemimpinan Pentakostal-Karismatik rentan terkena berbagai skandal? Model kepemimpinan ini acap kali memunculkan sisi gelap kepemimpinan yang ditandai oleh masalah-masalah keuangan, seksual, dan kekuasaan. Kajian ini mengungkapkan bahwa para pemimpin Pentakostal-Karismatik seringkali terjebak dalam model personalized charismatic leadership yang didasari oleh penafsiran yang keliru atas doktrin being Spirit-filled. Metode tulisan ini termasuk dalam ranah teologi praktis yang mengaitkan kerangka berpikir socialized charismatic leadership dengan konsep teologis tentang gereja ekklesia sebagai tubuh Kristus dan persekutuan Roh IndrapangastutiPendidikan multikultural adalah sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya, dan untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan keterampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokratik-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama. Melalui pendidikan multikultural peserta didik diharapkan memiliki kompetensi yang baik, bersikap dan menerapkan nilai-nilai demokratis, humanisme dan pluralisme di sekolah dan di luar sekolah. Pendidikan multikultural diberikan kepada siswa SMK agar mereka memahami bahwa di dalam lingkungan mereka dan di lingkungan lain terdapat keragaman budaya yang berpengaruh terhadap tingkah laku, sikap, pola pikir manusia sehingga manusia tersebut memiliki cara-cara, kebiasaan, aturan-aturan bahkan adat istiadat yang berbeda satu sama lain. Bila perbedaan itu tidak dapat dipahami dengan baik dan diterima dengan bijaksana, maka konflik akan mudah terjadi baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Penerapan konsep yang sistematis dalam mengatasi praktek dan problematik pembelajaran pendidikan multikultural yang bisa diterapkan di SMK, yaitu a meningkatkan peran seluruh warga sekolah, terutama guru dengan menggunakan panduan lima dimensi pendidikan multikultur dari Banks, b mengintegrasikan materi pendidikan multikultural ke dalam kurikulum ataupun pembelajaran di sekolah dengan menggunakan panduan empat pendekatan pendidikan multikultural dari Banks, dan c meningkatkan peran guru dalam pendidikan multikultural yaitu1 membangun paradigma keberagamaan inklusif di lingkungan sekolah, 2 menghargai keragaman bahasa di sekolah, 3 membangun sikap sensitif gender di sekolah, 4 membangun pemahaman kritis dan empati terhadap ketidakadilan serta perbedaan sosial, 5 membangun sikap anti diskriminasi etnis, 6 menghargai perbedaan kemampuan, dan 7 menghargai perbedaan kunci praktek dan problematik, pendidikan multikultural, SMK Alfian RokhmansyahKritik sastra feminis meletakan teori feminisme menjadi landasan dasar pemikiran. Feminisme muncul sebagai akibat adanya prasangka gender. Prasangka gender ini memandang perempuan sebagai makhluk kelas dua. Pemikiran seperti ini berdasar pada anggapan bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih berperan dalam berbagai kegiatan, dan mempunyai kepentingan yang lebih besar daripada perempuan. Perbedaan ini tidak hanya tampak secara lahiriah, tetapi juga dalam struktur sosial budaya di masyarakat. Dengan demikian, kritik sastra feminis merupakan kritik ideologis terhadap cara pandang yang mengabaikan permasalahan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pemberian peran dan identitas sosial berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Contents ISU-ISU GENDER 13 GENDER DAN FEMINISME 37 KRITIK SASTRA BERPERSPEKTIF FEMINIS 63
Yangterjadi saat ini bukan sekadar kesetaraan gender, namun sebenarnya perang perebutan kuasa antara pria dan wanita. Alkitab dari Kejadian 3:16 bagian akhir telah menegaskan bahwa istri akan birahi kepada suami dan suami akan menguasai istrinya. Ayat-ayat Penting dalam Alkitab tentang Wanita dan Penjelasannya Maka dari itu, kita perlu
Ilustrasi Ayat Alkitab tentang Menghargai Perbedaan Foto UnsplashIndonesia digolongkan sebagai negara yang kaya akan perbedaan. Mulai dari perbedaan, suku, etnis, budaya, ras, hingga agama. Karena itulah, penduduk Indonesia disebut dengan masyarakat kondisi tersebut, umat Kristen harus menghargai dan menghormati perbedaan yang ada serta menolak sikap diskriminatif. Sebagaimana diajarkan oleh Tuhan Yesus buku SBTH GPIB Edisi September 2021 oleh GPIB Indonesia, Tuhan Yesus mengajarkan umat Kristen untuk mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri, tanpa untuk menghargai perbedaan tercermin dari sejumlah ayat Alkitab. Untuk mengetahui ayatnya, mari simak ulasan di bawah Ayat Alkitab tentang Menghargai Perbedaan Foto UnsplashAyat Alkitab tentang Menghargai PerbedaanBerikut ayat Alkitab tentang menghargai perbedaan dan mengasihi sesama“Sebab tidak ada perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Karena, Allah yang satu itu adalah Tuhan dari semua orang, kaya bagi semua orang yang berseru kepada-Nya.”“Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.”“Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”“Tetapi yang terutama kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa.”“Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci ”Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik. Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.”Ilustrasi Ayat Alkitab tentang Menghargai Perbedaan Foto Unsplash“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”“Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu.”“Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita.”“dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri.”“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu.”
Ketikamereka mengikuti pola yang dianjurkan Tuhan mengenai hidup dan pernikahan, maka Tuhan akan memberkati mereka dan memberikan mereka otoritas untuk menaklukkan bumi. Di keseluruhan Alkitab kita bisa menemukan ayat yang merujuk pada penyatuan kudus antara seorang pria dan istrinya. Dalam kitab Markus, Yesus berkata kepada orang-orang Farisi.
Keywords Yesus, Alkkitab, Kesetaraan Gender, Agama Kristen, Diskriminasi Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah pemahaman kesetaraan gender dalam agama tentang kesetaraan gender, rasanya tidak tepat kalau tanpa menyinggung tentanglaki-laki, hal ini dikarenakan perempuanlah yang sering menjadi korban atau mengalamikekerasan baik dalam rumah tangga, lingkungan budaya maupun dalam lingkungan organisasidan masyarakat. Diakui bahwa paham budaya terkadang berdampak terhadap perempuandalam agama Kristen. Sikap Yesus terhadap perempuan menjadi suatu kekuatan untukmerombak diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi akibat kesalahan dalam menafsirteks-teks Alkitab
TafsirSurat An-Nahl Ayat 97: Kesetaraan Laki-Laki dan Perempuan dalam Beribadah. Salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian, yakni persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, etnis, ras dan keturunan. Dalam konteks relasi antara jenis manusia, prinsip egalitarian
Ayat-Ayat tentang Kesetaraan Gender dalam al-Qur'an dan PenjelasannyaAyat-Ayat tentang Kesetaraan GenderAyat Alquran tentang kesetaraan gender perlu diketahui oleh setiap umat muslim sebagai salah satu panduan dalam menentukan langkah untuk mendukung adanya prinsip rahmatan lil 'alamin yang bisa dipraktikan dalam isu kesetaraan Alquran tentang Kesetaraan Gender dan PenjelasannyaNah, bagi Anda yang menaruh minat pada pembahasan satu ini, simak penjelasan selengkapnya mengenai ayat Alquran kesetaraan gender lewat artikel Ayat Alquran tentang Kesetaraan Gender dan PenjelasannyaIslam mengatur urusan manusia mulai dari konsep keimanan dan ketaqwaan, kebersihan, finansial hingga mengenai bagaimana seharusnya manusia bersikap antar dalam ajaran Islam, terdapat penjelasan mengenai habluminallah dan habluminannas. Adapun Hablumminallah memiliki makna aturan mengenai hubungan manusia dengan Tuhannya Allah SWT. Sementara Hablumminannas adalah hubungan manusia dengan sesama manusia, baik sesama umat Islam ataupun dengan umat yang berbeda jaman serba modern seperti saat ini, semakin banyak umat Islam yang memiliki pemikiran kritis akan permasalahan kesetaraan gender. Berikut ayat Alquran tentang kesetaraan gender antara lain QS. Al Hujurat ayat 13Kesetaraan gender ialah bentuk perlakukan kepada manusia tanpa melihat jenis kelaminnya. Seperti yang banyak diketahui, bahwa di dunia ini masih banyak ketimpangan gender yang dapat merugikan gender surat Al Hujurat ayat 13 dikatakan, "Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal."Hal ini menegaskan bahwa penciptaan manusia menjadi beragam ras dan suku serta jenis kelamin yang berbeda tak lain, agar antar sesama manusia dapat saling mengenal tanpa menganggap diri sendiri lebih unggul dari yang ada ras, suku, jenis kelamin yang bisa dibanggakan untuk merendahkan sesama manusia karena sesungguhnya Allah SWT hanya melihat tingkat ketaqwaan umatNya tanpa mempermasalahkan apakah dia perempuan atau laki-laki atau suku dan Az-Dzariyat ayat 56Firman Allah SWT berikutnya mengenai kesetaraan gender juga terdapat dalam Qs. Az-Dzariyat56 yang berarti, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."Sudah ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa Allah SWT menciptakan jin dan manusia tiada lain selain untuk beribadah. Hal ini menunjukkan bahwa setiap makhluk ciptaan Allah SWT memiliki tugas yang sama, yang membedakannya terletak pada tingkat ketaqwaan masing-masing dalam hal beribadah kepada Allah SWT. Tidak membeda-bedakan ras, suku dan jenis kelamin pun termasuk menjadi bagian dalam beribadah kepada Allah Al-An'am ayat 165Setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Hal ini pun tercantum dalam Qs. Al-An'am 165 yang memiliki arti,"Dan Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi dan Dia mengangkat derajat sebagian kamu di atas yang lain, untuk mengujimu atas karunia yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat memberi hukuman dan sungguh, Dia Maha Pengampun, Maha Penyayang." Qs. Al-An'am 165.Dalam perspektif Mubadalah, setiap manusia adalah pemimpin bagi dirinya sendiri, artinya setiap perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menyuarakan aspirasinya, mewujudkan impiannya tanpa harus takut akan pendapat orang lain yang mungkin masih berprinsip patriarki dalam surat ini dijelaskan bahwa Allah SWT akan menjadikan sebagian dari sebagian yang lainnya lebih kaya, berkuasa dan sebagainya hanya untuk menguji apakah mereka bersyukur atau kufur terhadap apa yang diberikan maka adzab Allah SWT akan segera datang dan Ia Maha Pembolak-balik Keadaan, namun sekaligus Maha Pengampun bagi hamba-Nya yang bertaubat. Artinya harta, tahta, dan karunia pada praktiknya adalah ujian apakah manusia sebagai khalifah mempu mewujudkan Islam yang Rahmatan Lil'Alamin atau justru Ali Imran ayat 195Ayat Alquran tentang kesetaraan gender yang ke-5 seperti terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 195, yang berarti, "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, karena sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang terbunuh, pasti akan Aku hapus kesalahan mereka dan pasti Aku masukkan mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah ada pahala yang baik." Qs. Ali-Imran 195.Dari ayat di atas tergambar jelas bahwa Allah SWT memberi pahala pada setiap umat-Nya bernilai sama, tidak akan ditambah meskipun dia laki-laki dan tidak akan dikurangi karena dia pemaparan dalam ayat Alquran tentang kesetaraan gender di atas, maka bisa diambil kesimpulan bahwa Allah SWT tidak pernah membedakan hambaNya berdasarkan jenis kelamin. Sayangnya penafsiran dengan pemahaman yang patriarki mengenai Alquran serta kebudayaan yang berkembang justru masih kerap menyudutkan dan merugikan pihak itu dia ulasan tentang Ayat Alquran tentang Kesetaraan Gender dan Penjelasannya dalam Perspektif Mubadalah. Acara Ibuku Content Creator bersama Mubadalah dapat dilihat lainnya di artikel Norma dan Realita antara Monogami dan Poligami di semoga artikel yang bekerja sama dengan dalam event ODOP ICC ini 2pC7TE.
  • hy73jc597a.pages.dev/591
  • hy73jc597a.pages.dev/45
  • hy73jc597a.pages.dev/37
  • hy73jc597a.pages.dev/181
  • hy73jc597a.pages.dev/345
  • hy73jc597a.pages.dev/553
  • hy73jc597a.pages.dev/127
  • hy73jc597a.pages.dev/262
  • ayat alkitab tentang kesetaraan gender